Kritik terhadap hukum-hukum (peraturan perundang-undangan) yang dibuat dan dipelihara oleh negara sudah tak terbilang. Kritik-kritik tersebut tidak saja menyoal hal-hal prosedural seperti bagaimana hukum itu disusun dan disahkan melalui proses legislasi, namun juga soal nilai-nilai intrinsik dari hukum itu. Radbruch menyebut tiga nilai-nilai dasar dalam hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum (satjipto, 2000). Nilai keadilan dan kemanfaatan dari hukum (negara) menjadi fokus dari publik karena prakteknya. Kedua nilai tersebut sering ditempatkan di belakang nilai kepastian. Akibatnya, praktek-praktek kekerasan oleh negara terhadap warga negara (individual maupun komunal) berlangsung dibawah legitimasi hukum yang berlaku.
Di lapangan, wujud dari kekerasan oleh negara terhadap warga negara dapat berwujud penggusuran dan pengambil-alihan paksa atas tanah-tanah ulayat milik masyarakat komunal (yang adat maupun lokal) yang telah dipelihara dan digarap secara aktif dan turun temurun. Sebelumnya, oleh negara, tanah-tanah ulayat tersebut telah ditetapkan secara formal (melalui pengesahan undang-undang) sebagai tanah negara. Itulah kepastian hukum bagi negara, namun sering menjadi sumber ketidakadilan dan penderitaan bagi warga negara. Di beberapa provinsi yang sangat kaya akan sumber daya alam, praktek penggusuran dan pengambil-alihan paksa atas tanah-tanah ulayat oleh negara masih kerap terjadi atas dasar kepastian hukum. Konflik pun tak terhindarkan antara warga negara versus negara.
Berbagai bentuk perlawanan dilakukan masyarakat komunal yang menjadi korban. Umumnya perlawanan dilakukan dengan cara-cara ektra legal (diluar aturan hukum). Namun seringkali, cara-cara itu malah memperpanjang umur kekerasan. Kekerasan dibalas kekerasan seperti sebuah spiral sebagaimana diungkap oleh Dom Helder Camara dengan teori spiral kekerasannya. Cara lain yang tidak hanya mengandalkan tenaga tetapi juga pikiran adalah dengan memberdayakan hukum-hukum rakyat (customary law). Cara ini bukan sekedar mengarah pada upaya pengembalian hak-hak atas tanah masyarakat, tetapi juga berjuang untuk mengubah paradigma berfikir tentang hukum negara yang didominasi oleh pandangan sentralisme hukum, dimana hanya hukum negaralah yang memiliki kewenangan hukum untuk mengatur keseluruhan tata kehidupan negara.
Salah satu pandangan pembaharuan hukum dari gerakan ini menghendaki bahwa hukum negara mestinya dibuat dengan menggali nilai-nilai atau norma-norma hukum rakyat yang segaris dengan pandangan hidup masyarakat Indonesia, yang notabene bersuku-suku dan berwatak komunal, tidak seperti sistem hukum saat ini yang notabene dilahirkan dari sistem sosial Eropa Barat yang homogen dan berwatak liberal.
Buku ini disusun untuk menggambarkan dinamika gerakan pembaharuan hukum yang menekankan adanya penghormatan terhadap hukum-hukum rakyat beserta strategi dan taktik bagaimana menguatkan hukum rakyat seraya mendukung upaya advokasi penyelesaian konflik sumber daya alam yang melibatkan masyarakat. Oleh karena itu, buku ini lebih tepat disebut buku panduan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar