Kamis, 20 Mei 2010

sosial control

Untuk menambah khazanah pengetahuan bagi sidang pembaca yang terhormat, berikut ta’beritahukan kepada khalayak ramai kalo aku ini punya sebuah hobi yang berjudul “misuh”. Misuh-misuh ini tentulah bukan tanpa sebab. Hobi ini baru kukerjakan kalo aku merasa diperlakukan tidak senonoh sama seseorang atau sesuatu. Demi Allah, kalo misalnya suatu saat aku diperlakukan dengan peri kebinatangan, bukan mustahil kata “asu” bakal keluar dari mulutku dan kualamatkan kepada mereka-mereka yang merugikanku. Belum cukup dengan “asu”, mereka-mereka itu biasanya harus bersiap-siap dengan serentetan pisuhan lain dari mulutku yang intinya – apalagi kalo bukan – bernada menggoblok-goblokkan kinerja mereka.

Dan kampretnya, aku ini termasuk orang yang ekspresif. Seperti kodrat manusia pada umumnya, aku juga memiliki kecenderungan untuk berbagi. Bedanya, aku mungkin lebih ekstrim. Kecenderunganku untuk berbagi tidak cuma sebatas pada hal-hal yang (nampak) positif saja. Yang negatif juga. Maka nggak heran kalo aku hobi banget berbagi cerita tentang mereka-mereka yang kupisuhi. Biar mampus, biar 1 dunia pada tahu kelakuan mereka yang menurutku membejatiku, istilahnya!

Makanya waktu pertama kali kenal sama apa itu yang namanya blog aku jadi girap-girap kesenengan. Hahayyy, aku nemu lahan yang bisa kupake buat mengekspresikan emosiku kepada seluruh homo sapiens di muka bumi.

Buatku blog adalah sarana pengekspresian diri. Ada hal-hal yang nggak bisa (ataupun nggak optimal) untuk kuekspresikan di dunia nyata. Dan tidak ada 1 makhluk pun yang bisa melarang ekpresi diri kita secara personal. Maka jika blog milik kita pun bersifat personal, menurut pendapatku, tidak ada juga yang boleh melarang apa yang pengen kita tulis di dalamnya. Sesuatu yang bersifat personal haruslah dihormati dengan melihat hak-hak personal yang ada pada diri kita.

Lanjutannya, tentu saja aku heran ketika ada pihak-pihak yang berusaha melarang pengekspresian diri seseorang. Aku kaget waktu tahu seorang Prita Mulyasari harus ditahan gara-gara menuliskan opini pribadinya di Internet tentang sebuah rumah sakit yang bermerek RS OMNI. Malah kalo tulisan itu adalah ungkapan jujur, berdasarkan apa yang memang dialaminya, aku harusnya bisa untuk bereaksi lebih kaget lagi.

Di sini aku ngeliat kasus ini malah jadi kayak ajang pembatasan bagi personal untuk mengekspresikan perasaannya. Apa ada yang salah tho di situ? Apa ada yang salah dengan membagikan pengalamannya kepada orang lain?

Kalopun ada yang mau menganggap salah, aku menilai, sampeyan-sampeyan yang menganggap hal itu salah dikarenakan cerita yang dibagikan itu berbenturan dengan sebuah kepentingan pribadi dari sampeyan. Sampeyan menilai cerita tersebut merugikan sampeyan karena hal itu menggoyang kredibilitas sampeyan. Maka sampeyan lantas merasa khawatir, kalo sampai orang percaya dengan cerita yang beredar itu, imej sampeyan bakal buyar di mata orang. Iya, tho?

Maka kelanjutannya adalah sampeyan menuntut orang yang sampeyan nilai merugikan sampeyan itu ke pengadilan. Begitu, kan?

Tapi coba kita runtut secara beradab terlebih dahulu. Jika ada yang bercerita tentang kebejatan kita kepada orang lain, maka kemungkinannya cuma 2: kita memang bejat atau orang yang bercerita tentang kita itu lagi ngibul. Kalo yang terjadi adalah opsi pertama, itu artinya memang kitalah sebab-musababnya. Tapi kalo yang terjadi adalah yang kedua, itu beda perkara. Sampeyan berhak menuntut sang tukang ngibul dengan tuduhan pencemaran nama baik. Fair.

Nah, masalahnya sekarang adalah apakah seorang Prita Mulyasari itu lagi ngibul atau tidak? Kalo belum terbukti ngibul, kenapa dia harus sampai ditahan? Kalo dia merasa nggak ngibul dan pihak RS OMNI juga nggak merasa melakukan hal-hal yang diceritakan oleh Mbak Prita, ya lakukan saja klarifikasi. Jelaskan saja ke masyarakat bagaimana sesungguhnya fakta yang bergulir menurut versi RS OMNI. Nantinya biar masyarakat sendiri yang memutuskan mana yang menurut mereka ngibul dan nggak ngibul. Belum perlu untuk langsung menuntut ke pengadilan yang ta’pikir malah menjadikan hal ini bernilai blunder bagi pihak RS OMNI.

Tindakan terburu-buru yang diambil RS OMNI sekarang faktanya – di kalangan blogger – dinilai sebagai tindakan yang kampret, kan? Citra RS OMNI malah jadi tambah buruk. Di Fesbuk sendiri ada sekitar 10 ribu orang lebih yang menentang tindakan RS OMNI. Word travel fast, sodara-sodara. Bagaimana kalo cerita tentang hal ini juga menyebar ke sanak-sodara dan teman-teman mereka yang nggak Fesbukan? RS OMNI toh juga nggak mungkin bisa menuntut mereka 1 demi 1, kan? Olala… Dan cerita buruk tentang RS OMNI pun semakin menyebar. Ah, seandainya saja RS OMNI tidak seterburu-buru sekarang ini, seandainya saja RS OMNI bisa memilih tindakan yang lebih mencerminkan kedewasaan, seandainya saja RS OMNI mau lebih menggunakan hak jawabnya terlebih dahulu ketimbang main tuntut, pastinya citra RS OMNI tidaklah sejatuh sekarang. Iya, kan?

Di sini aku pengen bilang, Internet dan blog, sebagai implementasinya, punya fungsi penting sebagai pengetatan kontrol sosial. Sampeyan berlaku bejat, bukan nggak mungkin dalam hitungan detik kebejatan sampeyan bakal terpublish di Internet lewat media personal blognya orang yang sampeyan bejati. Karenanya kalo nggak mau ada cerita bejat sedikitpun tentang sampeyan yang terpampang di world wide web, cuma ada 1 cara buat mencegahnya: jangan pernah bertindak bejat! Bikin blog itu gampang, kok. Dan menyebarkan kebejatan sampeyan via blog malahan perkara yang jauh lebih gampang lagi.

Bagaimana kalo cerita tentang kebejatan sampeyan itu cuma kibul-kibulan? Jelaskan dulu. Jelaskan dulu ke orang-orang yang mengetahui cerita kebejatan sampeyan via Internet itu bahwa sampeyan tidaklah bejat, dan cerita tentang kebejatan sampeyan itu cuma bohong-bohongan. Gunakan hak jawab sampeyan lebih dulu ketimbang langsung memutuskan untuk menuntut orang yang menyebarkan kebejatan sampeyan itu ke pengadilan. Itu bakal kelihatan lebih matang dan dewasa. Langsung dolanan tuntut-tuntutan malah bikin sampeyan malu sendiri. Sampeyan cuma bakal terlihat macam orang kebakaran jenggot gara-gara aib sampeyan tersebar ke masyarakat. Alih-alih sampeyan mau membuat kapok orang yang menyebarkan kebejatan sampeyan, sampeyan malah bakal dihina orang sebagai homo sapiens yang mau coba-coba melarang orang buat mengungkapkan fakta. Mampuslah sampeyan!

UU ITE Pasal 27 ayat 3 menurutku memang nggak jelas. Aku seolah-olah dilarang membelejeti kebejatan oknum-oknum yang membejati aku. Kalo saja UU itu sudah berlaku sejak jaman dulu, mungkin aku juga nggak bisa menggoblok-goblokkan rektor kampusku seputar kebijakannya yang menentukan pembayaran SPP tiap akhir bulan, yang mana biasanya orang-orang pas lagi kere-kerenya. Aku juga nggak bisa mengkampretkan kinerjanya Puskom UGM tentang layanan hosting buat mahasiswanya yang tiap weekend selalu down itu. Tapi itu juga kulakukan karena kalo aku berteriak di dunia nyata hal itu nggak ada gunanya. Beberapa kali aku mengkritik langsung di dunia nyata toh nggak ada hasilnya. Barulah setelah ku-publish di blogku jadi ada perubahan yang kerasa, yang tentunya didahului oleh wanti-wanti, “Kalau ada kelemahan sistem sebaiknya diomongin langsung. Nggak perlu di-publish di blog.” Intinya, aku dihimbau untuk tidak menyebarkan kelemahan layanan yang diberikan oleh almamaterku sendiri.

Tapi ya mau bagemana lagi? Diomongin langsung pada nggak tanggap, kok. Mereka baru merasa ketampar kalo orang sedunia tau kebejatannya. Inilah tipikal orang Endonesa: diomongin baik-baik nggak mau, tapi kalo sudah dikerasin dikit maka dianggapnya kita-kita ini nggak sopan; menyebarkan aib orang lain ke publik yang kalo di agamaku bakal disejajarkan dengan memakan bangkai sodaraku sendiri. Dihitungnya kita ini sebagai makhluk tukang cari perkara. Payah!

Padahal sebenernya mereka juga nggak perlu takut, kok, kalo ngerasa nggak salah. Kalo memang aku ngibul, tinggal balikkan saja opininya. Tunjukkan ke masyarakat kalo aku ini tukang ngibul. Dengan begitu aku bakal merasakan sanksi sosial dengan sendirinya. Makanya aku nggak setuju kalo ada yang ngelarang-ngelarang orang buat mengungkapkan emosi personalnya. Aku nggak bisa paham kenapa mereka juga meminta seorang Nindy untuk menghapus tulisannya yang tentang ketika Nindy dikecewakan oleh birokrasi kampusnya.

Takut aib kalian nyebar? Takut imej kalian turun drastis? Kalo takut, solusinya gampang, kok: jangan pernah membuat aib untuk diri kalian sendiri. Sudah, gitu aja. Gampang, kan?

Jadi, ada yang masih mau nolak kalo kontrol sosial di masyarakat kita makin ketat? Ada yang masih kepengen nyantai dan tenang-tenang untuk bertindak tidak profesional dan mengecewakan orang lain? Diajak berlaku bener, kok, ndak mau? Sana, pergi saja ke Timbuktu!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar