Senin, 24 Mei 2010

perubahan sosial pada abad 20

Setelah negara dan pasar dipandang gagal mengelola hutan, gagasan diseputar masyarakat, komunitas, adat, tradisi dan pelbagai asumsi kearifan-kearifan yang melekat padanya dimunculkan sebagai solusi dua masalah kembar: kehancuran hutan dan kemiskinan masyarakat didalamnya . Sejenis optimisme melambungkan semua pihak bahwa masyarakat dan tradisinya akan menyelamatkan hutan. Cara pandang tersebut, kurang lebih, tampak dari bagaimana belakangan, masyarakat diberi peran mengelola hutan di sekitar mereka tinggal. Skema-skema pengelolaan sumber daya alam berbasiskan masyarakat atau komunitas (beserta asumsi tradisi-tradisi nenek moyang yang dipegang teguh) dikeluarkan badan-badan keuangan multinasional, donor di bidang konservasi, departemen pemerintah, dan LSM yang sering mengkritiknya . Bolehlah dikatakan, isu pengelolaan sumber daya alam yang berkaitan dengan ”komunitas”—komuniti forestri, kehutanan sosial, hutan adat dan pengelolaan sumber daya alam berbasiskan masyarakat (PSDBHM)—telah menyatukan agenda-agenda yang saling bertentangan: pihak pengekspolitasi, pengkritik, korban eksploitasi, dan masyarakat sendiri. Seperti yang ditunjukkan Tania Li, wacana tentang konservasi, adat, dan keterlibatan masyarakat di dalamnya merupakan isu dimana “pelbagai kritik, donor, dan wakil-wakil pemerintah bisa menyetujui dengan mudah, sepanjang kepentingan-kepentingan yang berbeda pelbagai stakeholder tidak dibuat secara eksplisit” . Tidak heran apabila Perhutani memiliki PHBM; HPH memiliki program Bina Desa; lembaga keuangan multilateral seperti ADB dan World Bank mengeluarkan dokumen keterlibatan masyarakat dalam proyek kehutanan; di ujung yang lain, perusahaan multinasional yang beroperasi dirimba raya tropika seperti Freeport dan Caltex juga memiliki program pembangunan masyarakat (community development).

Wacana tentang pengelolaan sumber daya alam oleh komunitas beserta “pengetahuan lokal/tradisi” bukanlah hal yang tetap dan netral. Wacana itu dipengaruhi pelbagai bidang kekuatan yang bersinggungan, berebut, bermetamorfosa dan sekarang, berusaha mencapai titik temu. Msialnya, pemerintah memiliki gagasan tertentu tentang bagaimana hubungan masyarakat dan sumber daya alam harus ditata dan bagaimana kehidupan harus berlangsung. LSM yang berdedikasi di bidang pemulihan integritas berbagai komunitas dan pelestarian pengetahuan lingkungan tradisional memimpikan tata cara hidup ideal (kadang di proyeksikan sebagai tata cara yang asli atau kuno). Para pengusaha berusaha mengelola sumber daya alam yang terbatas agar menghasilkan uang berkelanjutan. Wacana tersebut umumnya bertemu dalam agenda bersama: konservasi. Disini saya mengutip Tania Li untuk lebih jelasnya:

“Rasa hormat terhadap adat yang dikaitkan dengan konservasi alam sudah menjadi suatu sistem hegemoni baru, yang menjadi alasan yang masuk akal sehingga banyak pihak dapat bersepakat secara prinsipil, meskipun tidak selalu setuju secara detail…..Agenda donor dan pemerintah dapat sejalan dengan wacana aktivis gerakan sosial di kota-kota besar dengan menyetujui bahwa masyarakat tertentu memiliki pengetahuan khusus tentang lingkungan….”

Contoh konkrit bagaimana wacana tentang masyarakat dan tradisinya mengalami transformasi dan penuh kontes nilai terdapat pada pandangan tentang masyarakat pedalaman hutan. Dulunya mereka dipandang sebagai masyarakat yang bodoh, mempertahankan kekolotan, komplotan yang memusuhi gerak pembangunan. Oleh penganjur konservasi alam, mereka dilihat sebagai perusak lingkungan, peladang berpindah yang tidak efisien atau penghuni liar . Belakangan mereka dilihat sebagai ahli lingkungan yang memegang rahasia sistem pengelolaan sumber daya alam berlandaskan adat dan komunitas yang berkelanjutan dan adil. Satu-satunya aktor mewujudkan agenda pembangunan berkelanjutan . Disertai pemulihan nama, masyarakat pedalaman hutan bergeser dari istilah yang merendahkan status dan berciri negatif seperti masyarakat terasing atau masyarakat terbelakang menjadi bermakna positif seperti masyarakat adat, masyarakat lokal atau masyarakat asli yang bijak .

Studi-studi sebelumnya meyakini bahwa antara masyarakat, komunitas, adat, dan tradisi berada dalam satu barisan dengan agenda pembangunan berkelanjutan. Masyarakat seakan-akan pasti mendukung agenda besar itu . Studi-studi semacam itu, bolehlah kita akui telah membuka perspektif baru wacana masyarakat memiliki peran dalam mengontrol sumber daya alam. Tetapi studi-studi tersebut kebanyakan bersifat advokatif dan kurang disertai bukti lapangan. Kalaulah dikatakan berhasil, agenda tersebut telah diadopsi dalam agenda donor, pemerintah dan LSM dan sukses tampak dipermukaan. Yang banyak dilupakan adalah bagaimana masyarakat sendiri menerima wacana global itu? Bagaimana mereka menerjemahkan kata-kata itu? Apakah agenda penggagas wacana tersebut seseuai dengan agenda masyarakat? Bagaimana wacana itu terserap dalam praktek keseharian dan memperbaiki masalah kembar diatas?

Studi ini berusaha melengkapi kritik terhadap asumsi-asumsi dasar wacana kearifan pengetahuan masyarakat adat/lokal yang banyak dibayangkan penggagas program aktivis perkotaan. Studi ini banyak dirangsang oleh temuan yang kontradiktif, salahnya asumsi, dan penjungkirbalikkan maksud baik para konservasionis—yang sedikit banyak saya imani—setelah tinggal cukup lama di pulau Siberut, kabupaten Kepulauan Mentawai. Studi ini mengambil pendekatan ala Scottian dalam memandang transformasi sosial, dalam artian bagaimana wacana “kearifan tradisi” dilihat dari respon sehari-hari masyarakat. Perlu ditekankan bahwa studi ini tidak dikatakan sebagai penelitian yang mengambil posisi emic—seperti dalam literatur antropologi. Saya tak perlu memakai metoda open transcript ala Oscar Lewis untuk menyelamatkan posisi. Lebih tepat, dengan meminjam istilah Michael R. Dove, studi ini adalah “studi keterlibatan” dalam pengertian sesungguhnya. Tulisan ini adalah refleksi saya setelah (dan masih) terlibat dalam program konservasi dan penguatan hak-hak masyarakat Mentawai.


LOKASI

Siberut merupakan bagian Kepulauan Mentawai, serangkaian pulau non-vulkanik yang letaknya di bagian paling barat Indonesia, lebih dari seratus kilometer sebelah barat garis pesisir Sumatra Barat. Gugusan kepulauan itu merupakan punggung pegunungan bawah laut yang sudah sangat tua. Pulau Siberut, dengan luas 4030 km², adalah pulau terbesar. Pulau ini terpisah dari Sumatra sekurang-kurangnya 500.000 tahun lampau. Proses pemisahan itu memberikan ‘splendid isolation’. Isolasi dengan pengaruh terbatas dari daratan utama menyebabkan flora dan fauna di pulau Siberut telah berevolusi dan berko-evolusi secara terpisah dari kejadian evolusi daratan utama Sunda Besar (Sundaland). Proses isolasi dan tiadanya kolonisasi flora dan fauna dari daratan, mendorong terbentuknya endemisitas dan keunikan ekologi yang tinggi. Ini dibuktikan oleh bentuk fauna pulau Siberut yang lebih primitif dibanding fauna Sumatra. Di pulau ini, 65% mammalia endemik 58% diantaranya endemik pada tingkat marga, 15% endemik untuk tumbuhan, dan 10% endemik untuk kelas burung.

Jumlah penduduk Siberut diperkirakan 35.000 dan menunjukkan kerapatan 7,5/km². Semenjak dekade terakhir, populasi penduduk Siberut meningkat karena berubahnya pola pemukiman dan sosio-ekonomi. Pada tahun 1930, jumlah penduduk diperkirakan 9.000 . Dari tahun 1960–sekarang, jumlah itu naik 300%. Para pendatang (non-Mentawai) yang menetap di pulau berjumlah sekitar 3000 jiwa atau 10% dari keseluruhan penduduk. Diantara tempat-tempat yang representatif dalam mengikat pelbagai wacana di seputar konservasi, lokasi penelitian saya di Siberut Selatan adalah tempat yang sepenuh-penuhnya ideal. Kecamatan ini terdiri dari 10 desa dengan 85% penduduk merupakan penduduk Mentawai. Di Kecamatan pemukiman-pemukiman lama masih bertahan. Di kecamatan ini terkenal adanya daerah Sarereiket dan Sakuddei yang dipandang melanggengkan kebudayaan Mentawai yang asli dan tradisional. Di sini kita dapat melihat contoh par exellence, bagaimana masyarakat yang dicitrakan sebagai masyarakat tradisional—bahkan primitif—bersinggungan dengan proses-proses yang melanda belahan dunia lainnya: kehadiran kolonial, pemerintah, perluasan dan perkembangan pasar, antropolog, NGO, dan turis.

Masyarakat Siberut: Identitas Yang Terus Dibentuk

Siberut adalah pulau yang menarik perhatian naturalis, turis, cukong kayu, universitas, pemerintah dan lembaga konservasi. Citraan masyarakat luar terhadap Siberut tidaklah tunggal dan mencerminkan kepentingan, akses politik dan ekonomi serta proyek hegemoni. Seperti daerah-daerah yang disebut sebagai pedalaman atau asing, Siberut telah “didefinisikan, dibentuk, dibayangkan, dikelola, dikendalikan, dieksploitasi dan dikonstruksikan melalui berbagai wacana dan praktek yang berlangsung dari luar: karya akademik, kebijakan pemerintah, aktivisme nasional dan internsional” .

Pada buku Masyarakat Terasing di Indonesia suntingan Koenjaraningrat, masyarakat Mentawai dikategorikan sebagai masyarakat terasing . Jauh sebelumnya, laporan lapangan para petugas kolonial dan missionaris menyebut orang Mentawai sebagai orang-orang liar yang ramah, ‘friendly savages’. Para misionaris juga mendeskripsikan orang Mentawai sebagai “… poor people in the hands of evil” . Guna memajukan manusia-manusia yang dipandang setengah manusia, half of human, oleh misionaris protestan, pejabat kolonial, gereja, pendakwah, maupun pemerintah sibuk membuat proyek, meminjam istilah Joel S. Kahn, “pembudayaan” . Proyek tersebut berupa Pemukiman Kembali Masyarakat terasing, kewajiban menanggalkan agama adat dan memeluk agama monoteis, pemusnahan alat upacara ritual dan sebagainya. Identitas “orang-orang liar yang ramah” atau “orang malang ditangan setan” berubah pasca kongres AMAN di Jakarta, 1999. Penduduk Siberut memberikan suatu citraan kuat sebagai suku yang menjaga hutan. Mereka diberit otonomi daerah dan menentukan adatnya, memilih kepercayaan dan menjalankan tradisi. Sejalan dengan agenda konservasi, mereka dipandang sebagai model ideal masyarakat dalam/sekitar hutan. Mereka dipandang sebagai tempat yang terpeliharanya cara hidup unik dan ekologis. Sebab itulah, Aktivis dan turis melakukan lobi-lobi untuk melindungi masyarakat dari destruksi dari luar dan sekaligus melindungi keanekaragaman hayatinya.

Para antropolog mempublikasikan film dan tulisan yang menyesalkan pembangunan yang menghancurkan kebudayaan. Laporan etnografis menyebut dukun orang Mentawai (sikerei) sebagai keepers of the forest. Sistem perladangan tradisionalnya dipandang memberi kemungkinan hidup selaras dengan alam karena tidak pernah menggunakan api dalam proses pembukaannya. Hutan bagi orang Mentawai dilihat tidak semata bernilai ekonomi, tetapi juga bermakna spiritual. Yang sering disebut-sebut dalam advokasi konservasi dan etnografi adalah penonjolan hubungan erat antara manusia dengan hutan yang terekspresikan dari kemampuan mereka mempertelakan 233 jenis dan 69 famili tumbuhan untuk menyembuhkan 129 jenis penyakit, Suatu pengetahuan tentang pengenalan tumbuhan yang paling tinggi di Indonesia .

Wacana tentang masyarakat yang masih memegang tradisi dan adat istiadat di pulau yang kaya, khas dan bernilai ekologi dan evolusi luar biasa telah membangun sentimen yang kuat bagaimana agenda konservasi dipertaruhkan. Dari sudut pandang itu, pulau ini penting bagi ilmu pengetahuan, pendidikan dan konservasi. UNESCO dan pemerintah Indonesia dibawah program Man And Biosphere (MAB) menetapkan Siberut sebagai sebagai cagar biosfer (Biosphere Reserve). Tahun 1993, Pemerintah Indonesia membatalkan semua aktivitas penebangan komersial dan perkebunan di Siberut dan meluncurkan proyek ICDP (Integrated Conservation and Development Project) dengan pendanaan dari ADB.. Pemerintah, dengan sokongan dana milyaran rupiah, menetapkan Taman Nasional seluas 190,000 ha dan mengundang lembaga konservasi untuk penyelamatan hutan tropika. Siberut juga masuk kawasan hot spot .

Disisi lain, bagi orang luar, Siberut adalah daerah penuh sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan. Belanda mendatangi pulau ini untuk menebangi kayu sejak abad 18. Para pedagang Bugis dan Minang serta Gujarat dari India telah menukar alat-alat dari perunggu dan tembaga dengan kopra, rotan dan hasil hutan lainnya . Ditahun 1970-an, seluruh hutan Siberut telah dikonsesikan kepada 4 perusahaan swasta. Disana ada potensi membuka lahan perkebunan komersial dan pertanian berskala besar sehingga ada yang mencoba membuka perkebunan sawit di paruh 1990-an, namun gagal karena advokasi LSM nasional dan lokal . Setelah proyek ICDP berakhir tahun 1999, pemerintah memberikan separuh pulau kepada pihak swasta memberi izin HPH dan IPK. Sepertiga pulau Siberut telah dimiliki perusahaan kayu. Sementara 17.000 ha lainnya sudah ditebang koperasi yang mendapatkan izin Bupati .

Di spektrum yang lain, Siberut juga sangat populer bagi turis mancanegara yang mengimani adanya manusia hutan yang belum tercemar kehidupan modern. Keunikan dan kekhasan ini menjadi nyata ketika dalam slogan-slogan pariwisata masyarakat Mentawai disebut orang yang “living in Stone age in modern era”. Mereka digambarkan sedang merokok dengan mengenakan kabit, sejenis cawat yang dililitkan pada pinggang yang berasal dari pohon baiko (Artocarpus heterophyllus). Si perempuan bertelanjang dada, mengenakan rok dari daun pisang sedang menangguk ikan dan menanam keladi. Mereka berada di beranda rumah, berseruling dan tato-tato yang menghiasi tubuh telanjang mereka ditonjolkan. Mereka dilihat sebagai makhluk ajaib hutan tropika yang tidak mengenal perkakas batu dan jauh dari hirup pikuk globalisasi. Akan tetapi disekitar Sumatra Barat, Siberut sering dipandang tempat yang jauh dari batas imajinasi. Penduduknya dicap menyebalkan dan bukanlah tempat ideal untuk pembangunan. Orang Mentawai tidak dipandang sebagai tipe ideal masyarakat Indonesia. Ciri-ciri negatif seperti tidak bertuhan dan menyembah roh, tidak beragama, tidak mengenal sopan santun, malas, tidak modern, kerap dibubuhkan. Dalam praktek sehari-hari, ketika saya melakukan penelitian ini, oleh para pendatang, orang Mentawai dilihat sebagai tanda keterbelakangan dalam pengertian moral maupun ideologi. Mereka yang menilai dengan merendahkan, mengakui dari Siberut, mereka hidup layak. Siberut adalah sumber utama penghasilan mereka.

Tradisi dalam Dunia Yang Terus Berubah

Dalam literatur etnografi, bagi orang Mentawai, berkaitan dengan agama adat, semua sumber daya alam tidak semata menyediakan bahan materi dan sumber ekonomi semata. Alam adalah tempat roh-roh yang menjaga keseimbangan kehidupan. Hutan adalah “a world beyond”, tempat leluhur mengatur, menjaga, memberi bencana sekaligus rahmat. Keselarasan hubungan leluhur dan hutan harus dipelihara. Keselarasan dapat dicapai dengan pesta (lia). Salah satu bukti hubungan roh dengan hutan adalah adanya tanda kenangan (kirekat) orang yang telah meninggal. Tanda kenangan itu lazim diukir pada sebuah pohon buah. Hal itu berarti tempat itu adalah tempat istirahat baru bagi jiwa seseorang yang mati. Laporan-laporan tersebut kerap ditambahi bagiamana masyarakat mempersiapkan upacara-upacara yang rumit dan bertele-tele untuk menebang satu pohon untuk sampan atau bahan rumah . Orang Mentawai memiliki tanah secara komunal oleh keluarga besar yang disebut Uma. Uma adalah kesatuan kosmos. Tanah dan kepemilikan atas semua produksi dimiliki oleh Uma secara otonom. Laporan semacam itu pasti akan cepat dianggap oleh para aktivis konservasi sebagai kekhasan masyarakat adat Mentawai. Oleh para aktivis yang ingin menandingi wacana state centralism atau market authoritarism pasti akan mengajukan wacana kearifan tradisional semacam itu. Disana juga dilihat sebagai masyarakat yang masih subsisten—arif—berbudaya . Disini saya akan mencoba menunjukkan, betapa etnografi tersebut sudah menghilang kalau tidak mengalami penjungkirbalikkan.

1 komentar: