Rabu, 23 Juni 2010
asalamu alaikum pa,sebelumnya saya minta maaf.berhubungan dengan salah masukin alamat blog saya,alamta blog saya yang benar adalh sukses-since.blogspo
.sesudahnya saya ucapkan terima kasih..wassalam
Rabu, 09 Juni 2010
Bab 7 perubahan sosial
1. Struktur sosial: pola perilaku dari setiap individu masyarakat yang tersusun sebagai suatu sistem
2. Masyarakat mrp suatu sistem sosial budaya terdiri dari sejumlah orang yang berhubungan secara timbal balik melalui budaya tertentu.
3. Setiap individu mempunyai ciri dan kemampuan sendiri, perbedaan ini yang menyebabkan timbulnya perbedaan sosial.
4. Perbedaan sosial bersifat universal, ini berarti perbedaan sosial dimiliki setiap masyarakat dimanapun.
5. Perbedaan dalam masyarakat seringkali menunjukkan lapisan-lapisan yang bertingkat.
6. Lapisan yang bertingkat dalam masyarakat disebut Stratifikasi sosial
7. Ukuran yang digunakan untuk menggolongkan penduduk dalam lapisan-lapisan tertentu yaitu:
a) Ukuran kekayaan (kaya miskin, tuan tanah penyewa, )
b) Ukuran kekuasaan (penguasa/ dikuasai) penguasa punya wewenang lebih tinggi
c) Ukuran kehormatan (berpengarug / terpengaruh) ukuran ini ada di masyarakat tradisional(pemimpin informal)
d) ukuran ilmu pengetahuan (golongan cendekiawan/ rakyat awam)
PRANATA SOSIAL
1. Pranata Sosial adalah wadah yang memungkinkan masyarakat untuk berinteraksi menurut pola perilaku yang sesuai dengan norma yang berlaku.-
2. Horton dan Hunt mengartikan pranata sosial sebagai suatu hubungan sosial yang terorganisir yang memperlihatkan nilai-nilai dan prosedur-prosedur yang sama dan yang memenuhi kebutuhan2 dasar teertentu dalam masyarakat.
KETERANGAN Contoh di skolah sbg lembaga sosial budaya untuk memperoleh pendidikan mempunyai aturan-aturan. setiap orang harus berperillaku sesuai dengan aturan-aturan tertentu sehingga proses pendidikan berjalan dg baik. Begitu juga di bank, mempunyai aturan sendiri, setiap karyawan hrs berperilaku sesuia dengan aturan yang berlaku.
MACAM-MACAM PRANATA SOSIAL
1. Pranata Ekonomi (memenuhi kebutuahan material) , bertani,industri, bank, koperasi dan sebagainya
2. Pranata Sosial/ memenuhi kebut. Sosial : perkawinan, keluarga, sistem kekerabatan, pengaturan keturunan.
3. Pranata politik/ jalan alat untuk mencapai tujuan bersama dlm hidup bermasyarakat. seperti sistem hukum, sistem kekuasaan, partai, wewenang, pemerintahan
4. Pranata pendidikan/memnuhi kebutuahn pendidikan, seperti PBM, sistem pengetahuan, aturan, kursus, pendidikan keluarga, ngaji.
5. Pranata kepercayaan dan agama/ memenuhi kebutuhan spiritual. seperti upacara semedi, tapa, zakat, infak, haji dan ibadah lainnya.
6. Pranata Kesenian/ memenuhi kebutuhan manusia akan keindahan, seperti seni suara, seni lukis, seni patung, seni drama, dan sebagainya
KONTROL SOSIA
1. Berfungsi sbg alat agar anggotanya taat dan patuh thd norma yang telah ditentukan.
2. Kontrol sosial dapat dilakukan melalui prefentif yaitu dengan meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan keyakinan, thd kebenaran suatu norma.
Stratifikasi masyarakt
Pelapisan sosial atau stratifikasi sosial (social stratification) adalah pembedaan atau pengelompokan para anggota masyarakat secara vertikal (bertingkat).
Pengertian
Definisi sistematik antara lain dikemukakan oleh Pitirim A. Sorokin bahwa pelapisan sosial merupakan pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah adanya lapisan-lapisan di dalam masyarakat, ada lapisan yang tinggi dan ada lapisan-lapisan di bawahnya. Setiap lapisan tersebut disebut strata sosial. P.J. Bouman menggunakan istilah tingkatan atau dalam bahasa belanda disebut stand, yaitu golongan manusia yang ditandai dengan suatu cara hidup dalam kesadaran akan beberapa hak istimewa tertentu dan menurut gengsi kemasyarakatan. Istilah stand juga dipakai oleh Max Weber.
Dasar-dasar pembentukan pelapisan sosial
Ukuran atau kriteria yang menonjol atau dominan sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial adalah sebagai berikut.
] Ukuran kekuasaan dan wewenang
Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan.
Ukuran kehormatan
Ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang berprilaku dan berbudi luhur.
] Ukuran ilmu pengetahuan
Ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik (kesarjanaan), atau profesi yang disandang oleh seseorang, misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor ataupun gelar profesional seperti profesor. Namun sering timbul akibat-akibat negatif dari kondisi ini jika gelar-gelar yang disandang tersebut lebih dinilai tinggi daripada ilmu yang dikuasainya, sehingga banyak orang yang berusaha dengan cara-cara yang tidak benar untuk memperoleh gelar kesarjanaan, misalnya dengan membeli skripsi, menyuap, ijazah palsu dan seterusnya.
Dapat juga dilakukan dg penanggulangan/ referensif dg jalan persuatif/ bujukan dan hukuman sanksi/ paksaan.
BEBERAPA PENGERTIAN
1. Enkulturasi adalah proses pengenalan norma yang berlaku di masyarakat.
2. Sosialisasi adalah; Proses pembelajaran terhadap norma-norma yang berlaku shg dapat berperan dan diakui oleh kelompok masyarakat.
3. Instutionalisasi: proses dimana norma dan perilaku sudah menjadi kebiasaan
4. Internalisasi: norma dan perilaku sudah menjadi bagian diri pribadi, dan sudah mendarah daging.
PROSES SOSIAL BUDAYA
Hubungan antarindividu yang saling mempengaruhi dlm hal pengetahuan, sikap dan perilaku disebut interaksi sosial
Interaksi sosial terjadi apabila tindakan atau perilaku sesorang dapat mempengaruhi, mengubah, memperbaiki, atau mendorong perilaku, pikiran, perasaan, emosi orang lain.
SIFAT INTERAKSI SOSIAL
1. Frekuensi interaksi makin sering makin kenal dan makin banyak pengaruhnya.
2. Keteraturannya interaksi, semakin teratur semakin jelas arah perubahan nya.
3. Ketersebaran interaksi, semakin banyak dan tersebar , semakin banyak yang dipengaruhi.
4. Keseimbangan interakasi, semakin seimbang posisi kedua belah pihak yang berinteraksi semakin besar pengaruhnya.
5. Langsung tidaknya interkasi, bila interaksi bersifat langsung kedua belah pihak bersifat aktif, maka pengaruhnya semakin besar. Mobilitas sosial
Mobilitas
berasal dari bahasa latin mobilis yang berarti mudah dipindahkan atau banyak bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain.Kata sosial yang ada pada istilah mobilitas sosial untuk menekankan bahwa istilah tersebut mengandung makna gerak yang melibatkan seseorang atau sekelompok warga dalam kelompok sosial jadi. Mobilitas Sosial adalah perpindahan posisi seseorang atau sekelompok orang dari lapisan yang satu ke lapisan yang lain.
B. Bentuk Mobilitas Sosial
1.Mobilitas Vertikal
Mobilitas vertical adalah pepindahan status sosial yang dialami seseorang atau sekelompok warga pada lapisan sosial yang berbeda.
Mobilitas Vertikal naik memiliki dua bentuk ,yaitu sebagai berikut:
a) Naiknya orang-orang berstatus sosial rendah ke status sosial yang lebih tinggi, dimana status itu telah tersedia. Misalnya:seorang camat diangkat menjadi bupati.
b) Terbentuknya suatu kelompok baru yang lebih tinggi dari pada lapisan sosial yang sudah ada.
Mobilitas Vertikal turun juga mempunyai dua bentuk sebagai berikut.
a) Turunnya kedudukan seseorang kedudukan lebih rendah ,Misalnya, seseorang prajurit yang dipecat karena melakukan desersi.
b) Tidak dihargai lagi suatu kedudukan sebagai lapisan sosial atas,misalnya , seorang yang menjabat direktur bank,karena bank yang dipimpinya bermasalah maka ia diturunkan menjadi staf direksi.
Beberapa prinsip umum dalam mobilitas sosial vertical adalah sebagai berikut.
a) Tidak ada suatu pun masyarakat yang mutlak tertutup terhadap mobilitas sosial yang vertical.
b) Seterbuka apapun suatu masyarakat terhadap mobilitas sosial .
c) Setiap masyarakat pasti memiliki tipe mobilitas sosial vertical sendiri.
d) Laju mobilitas sosial disebabkan oleh faktor ekonomi,politik,dan pekerjaan yang berbeda-beda.
e) Mobilitas sosial yang disebabkan oleh faktor ekonomi,politik,dan pekerjaan, tidak menunjukkan adanya kecenderungan yang kontinu tentang bertambah .
2 .Mobilitas Horizontal
Mobilitas Horizontal adalah perpindahan status sosial seseorang atau sekelompok orang dalam lapisan.
Ciri utama mobilitas horizontal adalah lapisan sosial yang ditempati tidak mengalami perubahan .Contohnya,tindakan mengevakuasi penduduk yang tertimpa bencana alam ke daerah lain.
3 .Mobilitas Antargenerasi
Mobilitas Antargenerasi adalah perpindahan antara dua generasi atau lebih, Mobilitas Antargenerasi dapat dibedakan menjadi dua ,yaitu sebagai berikut.
a) Mobilitas Intergenerasi
adalah perpindahan status sosial yang terjadi di antara beberapa generasi.
b) Mobilitas Intragenerasi
Adalah perpindahan status sosial yang terjadi dalam satu generasi yang sama.
C . Faktor Pendorong Mobilitas Sosial
1. Faktor Struktural
Faktor Struktural adalah jumlah relative dari kedudukan tinggi yang bisa dan harus diisi serta kemudahan untuk memperolehnya. Adapun yang termasuk dalam cakupan faktor structural adalah sebagai berikut.
a) Struktur Pekerjaan
b) Perbedaan Fertilitas
c) Ekonomi Ganda
d) Penunjang dan Penghambat Mobilitas
2 .Faktor Individu
Faktor individu adalah kualitas orang perorang baik ditinjau dari segi tingkat pendidikan ,penampilan ,maupun keterampilan pribadi.Adapun yang termasuk dalam cakupan faktor individu adalah sebagai berikut.
a) Perbedaan Kemampuan
b) Orientasi Sikap terhadap Mobilitas
c) Faktor Kemujuran
3 .Setiap Status Sosial
Setiap manusia dilahirkan dalam status sosial yang dimilik oleh orang tuanya.
4 .Faktor Keadaan Ekonomi
Keadaan ekonomi dapat menjadi pendorong terjadiny mobilitas manusia.
5 .Faktor Situasi Politik
6 .Faktor Kependudukan {demografi}
7 .Faktor Keinginan Melihat Daerah Lain
D.Faktor Penghambat Mobilitas Sosial
1. Faktor Kemiskinan
2. Faktor Diskriminasi Kelas
3. Faktor Perbedaan Ras dan Agama
4. Faktor Perbedaan Jenis Kelamin {Gender}
5. Faktor Pengaruh Sosialisasi yang Sangat Kuat
E. Saluran-Saluran Mobilitas Sosial
Menurut Pitirim A.Sorokin,mobilitas sosial dapat dilakukan melalui beberapa saluran berikut.
1. Angkatan Senjata
2. Lembaga Pendidikan
3. Organisasi Politik
4. Lembaga Keagamaan
5. Organisasi Ekonomi
6. Organisasi Profesi
7. Perkawinan
8. Organisasi Keolahragaan
Secara umum ,cara yang digunakan untuk memperoleh status sosial dapat melalui
dua cara berikut.
1) Akripsi
Adalah cara untuk memperoleh kedudukan melalui keturunan
2) Prestasi
Adalah cara untuk memperoleh kedudukan pada lapisan tertentu dengan usaha sendiri.
Secara khusus,cara-cara yang digunakan untuk menaikan status sosial adalah sebagai berikut.
1) Perubahan Standar Hidup
2) Perubahan Nama
3) Perubahan Tempat Tinggal
4) Perkawinan
5) Perubahan Tingkah Laku
6) Bergabung dengan Organisasi Tertentu
F . Proses Terjadinya Mobilitas Sosial
Mobilitas sosial,baik itu yang bentuknya vertical,maupun horizontal dapat
terjadi di setiap masyarakat.
G .Dampak Mobilitas Sosial
Menurut Horton dan Hunt (1987),ada beberapa konsekuensi negative dari adanya mobilitas sosial vertical , antara lain sbg berikut.
1) Kecemasan akan terjadi penurunan status bila terjadi mobilitas menurun.
2) Ketegangan dalam mempelajari peran baru dari status jabatan yang meningkat
3) Keretakan hubungan antaranggota kelompok primer.
Adapun dampak mobilitas sosial bagi masyarakat,baik yang bersifat positif
maupun negatif antara lain sbg berikut.
1.Dampak Positif
a) Mendorong seseorang untuk lebih maju
b) Mempercepat tingkat perubahan sosial masyarakat kea rah yang lebih baik.
2 .Dampak Negatif
a) Timbulnya konflik
Konflik yang ditimbulkan oleh mobilitas sosial dapat dibedakan
menjadi 3 bagian,yaitu sebagai berikut.
1) Konflik antarkelas
2) Konflik antarkelompok sosial
Konflik ini dapat berupa:
a) Konflik antara kelompok sosial yang masih tradisional dengan kelompok sosial yang modern.
b) Proses suatu kelompok sosial tertentu terhadap kelompok sosial lain yang memiliki wewenang.
3) Konflik antargeneraso
b) Berkurangnya Solidaritas Kelompok
Dampak lain mobilitas sosial dari faktor psikologis antara lain sebagai berikut.
1. Menimbulkan ketakutan
2. Adanya gangguan psikologis bila seseorang turun dari jabatannya(post power syndrome)
3. Mengalami frustasi.
2. Masyarakat mrp suatu sistem sosial budaya terdiri dari sejumlah orang yang berhubungan secara timbal balik melalui budaya tertentu.
3. Setiap individu mempunyai ciri dan kemampuan sendiri, perbedaan ini yang menyebabkan timbulnya perbedaan sosial.
4. Perbedaan sosial bersifat universal, ini berarti perbedaan sosial dimiliki setiap masyarakat dimanapun.
5. Perbedaan dalam masyarakat seringkali menunjukkan lapisan-lapisan yang bertingkat.
6. Lapisan yang bertingkat dalam masyarakat disebut Stratifikasi sosial
7. Ukuran yang digunakan untuk menggolongkan penduduk dalam lapisan-lapisan tertentu yaitu:
a) Ukuran kekayaan (kaya miskin, tuan tanah penyewa, )
b) Ukuran kekuasaan (penguasa/ dikuasai) penguasa punya wewenang lebih tinggi
c) Ukuran kehormatan (berpengarug / terpengaruh) ukuran ini ada di masyarakat tradisional(pemimpin informal)
d) ukuran ilmu pengetahuan (golongan cendekiawan/ rakyat awam)
PRANATA SOSIAL
1. Pranata Sosial adalah wadah yang memungkinkan masyarakat untuk berinteraksi menurut pola perilaku yang sesuai dengan norma yang berlaku.-
2. Horton dan Hunt mengartikan pranata sosial sebagai suatu hubungan sosial yang terorganisir yang memperlihatkan nilai-nilai dan prosedur-prosedur yang sama dan yang memenuhi kebutuhan2 dasar teertentu dalam masyarakat.
KETERANGAN Contoh di skolah sbg lembaga sosial budaya untuk memperoleh pendidikan mempunyai aturan-aturan. setiap orang harus berperillaku sesuai dengan aturan-aturan tertentu sehingga proses pendidikan berjalan dg baik. Begitu juga di bank, mempunyai aturan sendiri, setiap karyawan hrs berperilaku sesuia dengan aturan yang berlaku.
MACAM-MACAM PRANATA SOSIAL
1. Pranata Ekonomi (memenuhi kebutuahan material) , bertani,industri, bank, koperasi dan sebagainya
2. Pranata Sosial/ memenuhi kebut. Sosial : perkawinan, keluarga, sistem kekerabatan, pengaturan keturunan.
3. Pranata politik/ jalan alat untuk mencapai tujuan bersama dlm hidup bermasyarakat. seperti sistem hukum, sistem kekuasaan, partai, wewenang, pemerintahan
4. Pranata pendidikan/memnuhi kebutuahn pendidikan, seperti PBM, sistem pengetahuan, aturan, kursus, pendidikan keluarga, ngaji.
5. Pranata kepercayaan dan agama/ memenuhi kebutuhan spiritual. seperti upacara semedi, tapa, zakat, infak, haji dan ibadah lainnya.
6. Pranata Kesenian/ memenuhi kebutuhan manusia akan keindahan, seperti seni suara, seni lukis, seni patung, seni drama, dan sebagainya
KONTROL SOSIA
1. Berfungsi sbg alat agar anggotanya taat dan patuh thd norma yang telah ditentukan.
2. Kontrol sosial dapat dilakukan melalui prefentif yaitu dengan meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan keyakinan, thd kebenaran suatu norma.
Stratifikasi masyarakt
Pelapisan sosial atau stratifikasi sosial (social stratification) adalah pembedaan atau pengelompokan para anggota masyarakat secara vertikal (bertingkat).
Pengertian
Definisi sistematik antara lain dikemukakan oleh Pitirim A. Sorokin bahwa pelapisan sosial merupakan pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah adanya lapisan-lapisan di dalam masyarakat, ada lapisan yang tinggi dan ada lapisan-lapisan di bawahnya. Setiap lapisan tersebut disebut strata sosial. P.J. Bouman menggunakan istilah tingkatan atau dalam bahasa belanda disebut stand, yaitu golongan manusia yang ditandai dengan suatu cara hidup dalam kesadaran akan beberapa hak istimewa tertentu dan menurut gengsi kemasyarakatan. Istilah stand juga dipakai oleh Max Weber.
Dasar-dasar pembentukan pelapisan sosial
Ukuran atau kriteria yang menonjol atau dominan sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial adalah sebagai berikut.
] Ukuran kekuasaan dan wewenang
Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan.
Ukuran kehormatan
Ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang berprilaku dan berbudi luhur.
] Ukuran ilmu pengetahuan
Ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik (kesarjanaan), atau profesi yang disandang oleh seseorang, misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor ataupun gelar profesional seperti profesor. Namun sering timbul akibat-akibat negatif dari kondisi ini jika gelar-gelar yang disandang tersebut lebih dinilai tinggi daripada ilmu yang dikuasainya, sehingga banyak orang yang berusaha dengan cara-cara yang tidak benar untuk memperoleh gelar kesarjanaan, misalnya dengan membeli skripsi, menyuap, ijazah palsu dan seterusnya.
Dapat juga dilakukan dg penanggulangan/ referensif dg jalan persuatif/ bujukan dan hukuman sanksi/ paksaan.
BEBERAPA PENGERTIAN
1. Enkulturasi adalah proses pengenalan norma yang berlaku di masyarakat.
2. Sosialisasi adalah; Proses pembelajaran terhadap norma-norma yang berlaku shg dapat berperan dan diakui oleh kelompok masyarakat.
3. Instutionalisasi: proses dimana norma dan perilaku sudah menjadi kebiasaan
4. Internalisasi: norma dan perilaku sudah menjadi bagian diri pribadi, dan sudah mendarah daging.
PROSES SOSIAL BUDAYA
Hubungan antarindividu yang saling mempengaruhi dlm hal pengetahuan, sikap dan perilaku disebut interaksi sosial
Interaksi sosial terjadi apabila tindakan atau perilaku sesorang dapat mempengaruhi, mengubah, memperbaiki, atau mendorong perilaku, pikiran, perasaan, emosi orang lain.
SIFAT INTERAKSI SOSIAL
1. Frekuensi interaksi makin sering makin kenal dan makin banyak pengaruhnya.
2. Keteraturannya interaksi, semakin teratur semakin jelas arah perubahan nya.
3. Ketersebaran interaksi, semakin banyak dan tersebar , semakin banyak yang dipengaruhi.
4. Keseimbangan interakasi, semakin seimbang posisi kedua belah pihak yang berinteraksi semakin besar pengaruhnya.
5. Langsung tidaknya interkasi, bila interaksi bersifat langsung kedua belah pihak bersifat aktif, maka pengaruhnya semakin besar. Mobilitas sosial
Mobilitas
berasal dari bahasa latin mobilis yang berarti mudah dipindahkan atau banyak bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain.Kata sosial yang ada pada istilah mobilitas sosial untuk menekankan bahwa istilah tersebut mengandung makna gerak yang melibatkan seseorang atau sekelompok warga dalam kelompok sosial jadi. Mobilitas Sosial adalah perpindahan posisi seseorang atau sekelompok orang dari lapisan yang satu ke lapisan yang lain.
B. Bentuk Mobilitas Sosial
1.Mobilitas Vertikal
Mobilitas vertical adalah pepindahan status sosial yang dialami seseorang atau sekelompok warga pada lapisan sosial yang berbeda.
Mobilitas Vertikal naik memiliki dua bentuk ,yaitu sebagai berikut:
a) Naiknya orang-orang berstatus sosial rendah ke status sosial yang lebih tinggi, dimana status itu telah tersedia. Misalnya:seorang camat diangkat menjadi bupati.
b) Terbentuknya suatu kelompok baru yang lebih tinggi dari pada lapisan sosial yang sudah ada.
Mobilitas Vertikal turun juga mempunyai dua bentuk sebagai berikut.
a) Turunnya kedudukan seseorang kedudukan lebih rendah ,Misalnya, seseorang prajurit yang dipecat karena melakukan desersi.
b) Tidak dihargai lagi suatu kedudukan sebagai lapisan sosial atas,misalnya , seorang yang menjabat direktur bank,karena bank yang dipimpinya bermasalah maka ia diturunkan menjadi staf direksi.
Beberapa prinsip umum dalam mobilitas sosial vertical adalah sebagai berikut.
a) Tidak ada suatu pun masyarakat yang mutlak tertutup terhadap mobilitas sosial yang vertical.
b) Seterbuka apapun suatu masyarakat terhadap mobilitas sosial .
c) Setiap masyarakat pasti memiliki tipe mobilitas sosial vertical sendiri.
d) Laju mobilitas sosial disebabkan oleh faktor ekonomi,politik,dan pekerjaan yang berbeda-beda.
e) Mobilitas sosial yang disebabkan oleh faktor ekonomi,politik,dan pekerjaan, tidak menunjukkan adanya kecenderungan yang kontinu tentang bertambah .
2 .Mobilitas Horizontal
Mobilitas Horizontal adalah perpindahan status sosial seseorang atau sekelompok orang dalam lapisan.
Ciri utama mobilitas horizontal adalah lapisan sosial yang ditempati tidak mengalami perubahan .Contohnya,tindakan mengevakuasi penduduk yang tertimpa bencana alam ke daerah lain.
3 .Mobilitas Antargenerasi
Mobilitas Antargenerasi adalah perpindahan antara dua generasi atau lebih, Mobilitas Antargenerasi dapat dibedakan menjadi dua ,yaitu sebagai berikut.
a) Mobilitas Intergenerasi
adalah perpindahan status sosial yang terjadi di antara beberapa generasi.
b) Mobilitas Intragenerasi
Adalah perpindahan status sosial yang terjadi dalam satu generasi yang sama.
C . Faktor Pendorong Mobilitas Sosial
1. Faktor Struktural
Faktor Struktural adalah jumlah relative dari kedudukan tinggi yang bisa dan harus diisi serta kemudahan untuk memperolehnya. Adapun yang termasuk dalam cakupan faktor structural adalah sebagai berikut.
a) Struktur Pekerjaan
b) Perbedaan Fertilitas
c) Ekonomi Ganda
d) Penunjang dan Penghambat Mobilitas
2 .Faktor Individu
Faktor individu adalah kualitas orang perorang baik ditinjau dari segi tingkat pendidikan ,penampilan ,maupun keterampilan pribadi.Adapun yang termasuk dalam cakupan faktor individu adalah sebagai berikut.
a) Perbedaan Kemampuan
b) Orientasi Sikap terhadap Mobilitas
c) Faktor Kemujuran
3 .Setiap Status Sosial
Setiap manusia dilahirkan dalam status sosial yang dimilik oleh orang tuanya.
4 .Faktor Keadaan Ekonomi
Keadaan ekonomi dapat menjadi pendorong terjadiny mobilitas manusia.
5 .Faktor Situasi Politik
6 .Faktor Kependudukan {demografi}
7 .Faktor Keinginan Melihat Daerah Lain
D.Faktor Penghambat Mobilitas Sosial
1. Faktor Kemiskinan
2. Faktor Diskriminasi Kelas
3. Faktor Perbedaan Ras dan Agama
4. Faktor Perbedaan Jenis Kelamin {Gender}
5. Faktor Pengaruh Sosialisasi yang Sangat Kuat
E. Saluran-Saluran Mobilitas Sosial
Menurut Pitirim A.Sorokin,mobilitas sosial dapat dilakukan melalui beberapa saluran berikut.
1. Angkatan Senjata
2. Lembaga Pendidikan
3. Organisasi Politik
4. Lembaga Keagamaan
5. Organisasi Ekonomi
6. Organisasi Profesi
7. Perkawinan
8. Organisasi Keolahragaan
Secara umum ,cara yang digunakan untuk memperoleh status sosial dapat melalui
dua cara berikut.
1) Akripsi
Adalah cara untuk memperoleh kedudukan melalui keturunan
2) Prestasi
Adalah cara untuk memperoleh kedudukan pada lapisan tertentu dengan usaha sendiri.
Secara khusus,cara-cara yang digunakan untuk menaikan status sosial adalah sebagai berikut.
1) Perubahan Standar Hidup
2) Perubahan Nama
3) Perubahan Tempat Tinggal
4) Perkawinan
5) Perubahan Tingkah Laku
6) Bergabung dengan Organisasi Tertentu
F . Proses Terjadinya Mobilitas Sosial
Mobilitas sosial,baik itu yang bentuknya vertical,maupun horizontal dapat
terjadi di setiap masyarakat.
G .Dampak Mobilitas Sosial
Menurut Horton dan Hunt (1987),ada beberapa konsekuensi negative dari adanya mobilitas sosial vertical , antara lain sbg berikut.
1) Kecemasan akan terjadi penurunan status bila terjadi mobilitas menurun.
2) Ketegangan dalam mempelajari peran baru dari status jabatan yang meningkat
3) Keretakan hubungan antaranggota kelompok primer.
Adapun dampak mobilitas sosial bagi masyarakat,baik yang bersifat positif
maupun negatif antara lain sbg berikut.
1.Dampak Positif
a) Mendorong seseorang untuk lebih maju
b) Mempercepat tingkat perubahan sosial masyarakat kea rah yang lebih baik.
2 .Dampak Negatif
a) Timbulnya konflik
Konflik yang ditimbulkan oleh mobilitas sosial dapat dibedakan
menjadi 3 bagian,yaitu sebagai berikut.
1) Konflik antarkelas
2) Konflik antarkelompok sosial
Konflik ini dapat berupa:
a) Konflik antara kelompok sosial yang masih tradisional dengan kelompok sosial yang modern.
b) Proses suatu kelompok sosial tertentu terhadap kelompok sosial lain yang memiliki wewenang.
3) Konflik antargeneraso
b) Berkurangnya Solidaritas Kelompok
Dampak lain mobilitas sosial dari faktor psikologis antara lain sebagai berikut.
1. Menimbulkan ketakutan
2. Adanya gangguan psikologis bila seseorang turun dari jabatannya(post power syndrome)
3. Mengalami frustasi.
Bab 8 sistem politik
Istilah politik berasal dari kata Polis (bahasa Yunani) yang artinya Negara Kota. Dari kata polis dihasilkan kata-kata, seperti:
1. Politeia artinya segala hal ihwal mengenai Negara. 2. Polites artinya warga Negara.
3. Politikus artinya ahli Negara atau orang yang paham tentang Negara atau negarawan.
4. Politicia artinya pemerintahan Negara.
Secara umum dapat dikatakan bahwa politik adalah kegiatan dalam suatu system politik atau Negara yang menyangkut proses penentuan tujuan dari system tersebut dan bagaimana melaksanakan tujuannya.
Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya.
Kekuasaan yaitu kemampuan sesorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok sesuai dengan keinginan dari pelaku.
Pembagian atau alokasi adalah pembagian dan penjatahan nilai-nilai dalam masyarakat. Jadi, politik merupakan pembagian dan penjatahan nilai-nilai secara mengikat.
Sistem pilitik suatu Negara selalu meliputi 2 suasana kehidupan. Yaitu:
a. Suasana kehidupan politik suatu pemerintah (the Govermental political sphere)
b. Suasana kehidupan politik rakyat (the sociopolitical sphere)
Suasana kehidupan politik pemerintah dikenal dengan istilah suprastruktur politik, yaitu bangunan “atas” suatu politik. Pada suprastruktur poliyik terdapat lembaga-lembaga Negara yang mempunyai peranan penting dalam proses kehidupan politik (pemerintah).
Suasana kehidupan politik pemerintahan ini umumnya dapat diketehuai dalam UUD atau konstitusi Negara yang bersangkutan. Suprastruktur politik Negara Indonesia meliputi MPR, DPR, Presiden, MA, BPK, danDPA.
Suasana kehidupan politik rakyat dikenal istilah “Infrastruktur politik” yaitu bangunan bawah suatu kehidupan politik, yakni hal-hal yang bersangkut paut dengan pengelompokan warga Negara atau anggota masyarakat ke dalam berbagai macam golongan yang biasa disebut sebagai kekuatan sosial politik dalam masyarakat.
Infrastruktur politik mempunyai 5 unsur diantaranya:
1. Partai politik
2. Kelompok kepentingan
3. Kelompok penekan
4. Alat komunikasi politik
5. Tokoh politik.
2.Objek politik
Ketua Umum Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB-PII), Nasrullah mengatakan pelajar sering dijadikan objek dalam politik tanpa ada daya tawar yang cukup untuk menentukan nasib bangsa ini ke depan.
Pelajar sebagai sebuah elemen yang tidak terpisahkan dalam bangsa ini harus memiliki peran aktif dalam menyelesaikan masalah bangsa ini, ujarnya pada acara pidato resepsi hari bangkit (Harba) PII ke 62 di Wisma Antara Jakarta, kemarin. Hadir dalam acara tersebut, Sofyan Djalil, Menteri Negara (Meneg) BUMN, Masyuri AM, Kepala Penerangan Depag RI, AM Fatwa, dan ratusan kader, simpatisan PII se Jabodetabek.
Menurut Nasrullah, cara yang paling sederhana adalah dengan memberikan suaranya dalam Pemilu (Pilpres), sebagai pemilih pemula pelajar memiliki suara yang cukup signifikan (30 persen).
Tetapi, Nasrullah menyayangkan bahwa dari beberapa kebijakan dapat merugikan pelajar/mahasiswa. Salah satunya UU BHP (Badan Hukum Pendidikan) yang disahkan DPR RI pada 17 Desember 2008 lalu.
Undang-undang ini berpeluang membuka celah diskriminasi dalam pendidikan, hanya yang memiliki kemampuan dan berharta cukup yang dapat mengenyam pendidikan lebih layak dan ber kualitas, katanya.
Padahal, lanjutnya, Tuhan telah memberikan manusia otak itu sama, hanya saja tinggal kemauan, keuletan, dan cara belajar yang sesuai. Tuhan pun, tidak membuat dinding pemisah bagi si bodoh dan yang pintar.
Nasrullah menyatakan hadirnya UU BHP ini telah membangun diskriminasi, sehingga dikhawatirkan akan terlihat kasta-kasta dalam dunia pendidikan.
Hal ini sebenarnya kita tidak inginkan karena kita berpendapat semua pelajar punya hak yang sama (dalam mengenyam pendidikan) yang dilindungi oleh Undang-undang, ujarnya.
Nasrullah memandang pendidikan bukan hanya proses transfer of Knowledge tapi Transfer of Value, sehingga penting untuk menciptakan suasana yang kondusif dan figur yang tepat untuk diikuti dalam proses belajar (teladan, Red), sehingga nantinya pelajar menjadi generasi yang lebih baik, tetapi jika ini tidak terwujud, maka tak terbayangkan generasi seperti apa yang akan ada kedepan?.
Satu hal yang mungkin tertinggal yaitu bagaimana kita menghadirkan jiwa-jiwa kritis terhadap pelajar jika memang hal yang ideal tadi tidak terpenuhi, sehingga pepatah Guru kencing berdiri, murid kencing berlari dengan paradigma pendidikan kritis, akan berubah menjadi, Guru kencing berdiri maka murid harus duduk, ungkapnya.
Menyikapi Dinamika Politik
Di tengah realitas politik yang menghangat pasca pemilihan legislatif (Pileg), hingga polemik soal koalisi antarcapres dan Cawapres yang akan memimpin bangsa Indonesia lima tahun kedepan, Nasrullah menyampaikan rasa keprihatinannya.
Para elit asyik mempertontonkan sinetron politik mulai dari pernyataan yang terkesan tidak konsisten, perpisahan antara Presiden dan Wakil Presiden (Wapres) yang didramatisir oleh media, sampai masalah calon-calon alternatif yang muncul dalam ring pertarungan politik yang ada, katanya.
Masyarakat sesungguhnya menunggu kepastian akan perbaikan politik ini dengan penuh harapan bahwa pesta demokrasi dapat berjalan baik, menghasilkan perbaikan langsung bagi kehidupan mereka (kesejahteraan dan Kemakmuran rakyat,Red). Tentulah wajar jika masyarakat merasakan jenuh menunggu proses yang begitu lama, dikhawatirkan masyarakat kehilangan harapan dan bertindak apatis terhadap pelaksanaan pemilu ini.
Untuk itulah, kepada seluruh Pemimpin dan kader PII se tanah air di Harba PII yang ke 62 PB PII berpesan: Pertama, tetap menjadi pejuang-pejuang moral untuk menyelamatkan bangsa dan agama, untuk mencapai peradaban yang lebih bermartabat dengan Ilmu.
Kedua, perjuangkan pendidikan yang baik, yang menitikberatkan pada Transfer of Value sebagai bekal untuk pelajar menghadapi realitas masa depan yang makin tidak bersahabat dengan nilai-nilai ketimuran.
Ketiga, pendidikan yang murah untuk pelajar, bukan hanya untuk orang-orang tertentu saja tapi untuk semua orang karena itu adalah hak yang paling azasi setelah kehidupan. Keempat, pemerintah harus memprioritaskan pendidikan dan pengembanganya dalam pembangunan dimasa datang, hal ini untuk membangun kemandirian bangsa dan Negara
3.sistem politik
Dalam perspektif sistem, sistem politik adalah subsistem dari sistem sosial. Perspektif atau pendekatan sistem melihat keseluruhan interaksi yang ada dalam suatu sistem yakni suatu unit yang relatif terpisah dari lingkungannya dan memiliki hubungan yang relatif tetap diantara elemen-elemen pembentuknya. Kehidupan politik dari perspektif sistem bisa dilihat dari berbagai sudut, misalnya dengan menekankan pada kelembagaan yang ada kita bisa melihat pada struktur hubungan antara berbagai lembaga atau institusi pembentuk sistem politik. Hubungan antara berbagai lembaga negara sebagai pusat kekuatan politik misalnya merupakan satu aspek, sedangkan peranan partai politik dan kelompok-kelompok penekan merupakan bagian lain dari suatu sistem politik. Dengan merubah sudut pandang maka sistem politik bisa dilihat sebagai kebudayaan politik, lembaga-lembaga politik, dan perilaku politik.
Model sistem politik yang paling sederhana akan menguraikan masukan (input) ke dalam sistem politik, yang mengubah melalui proses politik menjadi keluaran (output). Dalam model ini masukan biasanya dikaitkan dengan dukungan maupun tuntutan yang harus diolah oleh sistem politik lewat berbagai keputusan dan pelayanan publik yang diberian oleh pemerintahan untuk bisa menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat. Dalam perspektif ini, maka efektifitas sistem politik adalah kemampuannya untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat.
Namun dengan mengingat Machiavelli maka tidak jarang efektifitas sistem politik diukur dari kemampuannya untuk mempertahankan diri dari tekanan untuk berubah. Pandangan ini tidak membedakan antara sistem politik yang demokratis dan sistem politik yang otoriter.
4.sistem politik Indonesia
Sistem Politik Indonesia bisa dilihat dari proses politik yang terjadi di dalamnya. Namun dalam menguraikannya tidak cukup sekedar melihat sejarah Bangsa Indonesia tapi diperlukan analisis sistem agar lebih efektif. Dalam proses politik biasanya di dalamnya terdapat interaksi fungsional yaitu proses aliran yang berputar menjaga eksistensinya. Sistem politik merupakan sistem yang terbuka, karena sistem ini dikelilingi oleh lingkungan yang memiliki tantangan dan tekanan.
Dalam melakukan analisis sistem bisa dengan pendekatan satu segi pandangan saja seperti dari sistem kepartaian, tetapi juga tidak bisa dilihat dari pendekatan tradisional dengan melakukan proyeksi sejarah yang hanya berupa pemotretan sekilas. Pendekatan yang harus dilakukan dengan pendekatan integratif yaitu pendekatan sistem, pelaku-saranan-tujuan dan pengambilan keputusan
Proses politik mengisyaratkan harus adanya kapabilitas sistem. Kapabilitas sistem adalah kemampuan sistem untuk menghadapi kenyataan dan tantangan. Pandangan mengenai keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini berbeda diantara para pakar politik. Ahli politik zaman klasik seperti Aristoteles dan Plato dan diikuti oleh teoritisi liberal abad ke-18 dan 19 melihat prestasi politik dikuru dari sudut moral. Sedangkan pada masa modern sekarang ahli politik melihatnya dari tingkat prestasi (performance level) yaitu seberapa besar pengaruh lingkungan dalam masyarakat, lingkungan luar masyarakat dan lingkungan internasional.
Pengaruh ini akan memunculkan perubahan politik. Adapun pelaku perubahan politik bisa dari elit politik, atau dari kelompok infrastruktur politik dan dari lingkungan internasional.
Perubahan ini besaran maupun isi aliran berupa input dan output. Proes mengkonversi input menjadi output dilakukan oleh penjaga gawang (gatekeeper).
Terdapat 5 kapabilitas yang menjadi penilaian prestasi sebuah sistem politik :
1. Kapabilitas Ekstraktif, yaitu kemampuan Sumber daya alam dan sumber daya manusia. Kemampuan SDA biasanya masih bersifat potensial sampai kemudian digunakan secara maksimal oleh pemerintah. Seperti pengelolaan minyak tanah, pertambangan yang ketika datang para penanam modal domestik itu akan memberikan pemasukan bagi pemerintah berupa pajak. Pajak inilah yang kemudian menghidupkan negara.
2. Kapabilitas Distributif. SDA yang dimiliki oleh masyarakat dan negara diolah sedemikian rupa untuk dapat didistribusikan secara merata, misalkan seperti sembako yang diharuskan dapat merata distribusinya keseluruh masyarakat. Demikian pula dengan pajak sebagai pemasukan negara itu harus kembali didistribusikan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
3. Kapabilitas Regulatif (pengaturan). Dalam menyelenggaran pengawasan tingkah laku individu dan kelompok maka dibutuhkan adanya pengaturan. Regulasi individu sering memunculkan benturan pendapat. Seperti ketika pemerintah membutuhkan maka kemudian regulasi diperketat, hal ini mengakibatkan keterlibatan masyarakat terkekang.
4. kapabilitas simbolik, artinya kemampuan pemerintah dalam berkreasi dan secara selektif membuat kebijakan yang akan diterima oleh rakyat. Semakin diterima kebijakan yang dibuat pemerintah maka semakin baik kapabilitas simbolik sistem.
5. kapabilitas responsif, dalam proses politik terdapat hubungan antara input dan output, output berupa kebijakan pemerintah sejauh mana dipengaruhi oleh masukan atau adanya partisipasi masyarakat sebagai inputnya akan menjadi ukuran kapabilitas responsif.
6. kapabilitas dalam negeri dan internasional. Sebuah negara tidak bisa sendirian hidup dalam dunia yang mengglobal saat ini, bahkan sekarang banyak negara yang memiliki kapabilitas ekstraktif berupa perdagangan internasional. Minimal dalam kapabilitas internasional ini negara kaya atau berkuasa (superpower) memberikan hibah (grants) dan pinjaman (loan) kepada negara-negara berkembang.
Ada satu pendekatan lagi yang dibutuhkan dalam melihat proses politik yaitu pendekatan pembangunan, yang terdiri dari 2 hal:
a. Pembangunan politik masyarakat berupa mobilisasi, partisipasi atau pertengahan. Gaya agregasi kepentingan masyarakat ini bisa dilakukans ecara tawaran pragmatik seperti yang digunakan di AS atau pengejaran nilai yang absolut seperti di Uni Sovyet atau tradisionalistik.
b. Pembangunan politik pemerintah berupa stabilitas politik
PROSES POLITIK DI INDONESIA
Sejarah Sistem politik Indonesia dilihat dari proses politiknya bisa dilihat dari masa-masa berikut ini:
- Masa prakolonial
- Masa kolonial (penjajahan)
- Masa Demokrasi Liberal
- Masa Demokrasi terpimpin
- Masa Demokrasi Pancasila
- Masa Reformasi
Masing-masing masa tersebut kemudian dianalisis secara sistematis dari aspek :
• Penyaluran tuntutan
• Pemeliharaan nilai
• Kapabilitas
• Integrasi vertikal
• Integrasi horizontal
• Gaya politik
• Kepemimpinan
• Partisipasi massa
• Keterlibatan militer
• Aparat negara
• Stabilitas
Bila diuraikan kembali maka diperoleh analisis sebagai berikut :
1. Masa prakolonial (Kerajaan)
• Penyaluran tuntutan – rendah dan terpenuhi
• Pemeliharaan nilai – disesuikan dengan penguasa atau pemenang peperangan
• Kapabilitas – SDA melimpah
• Integrasi vertikal – atas bawah
• Integrasi horizontal – nampak hanya sesama penguasa kerajaan
• Gaya politik - kerajaan
• Kepemimpinan – raja, pangeran dan keluarga kerajaan
• Partisipasi massa – sangat rendah
• Keterlibatan militer – sangat kuat karena berkaitan dengan perang
• Aparat negara – loyal kepada kerajaan dan raja yang memerintah
• Stabilitas – stabil dimasa aman dan instabil dimasa perang
2. Masa kolonial (penjajahan)
• Penyaluran tuntutan – rendah dan tidak terpenuhi
• Pemeliharaan nilai – sering terjadi pelanggaran ham
• Kapabilitas – melimpah tapi dikeruk bagi kepentingan penjajah
• Integrasi vertikal – atas bawah tidak harmonis
• Integrasi horizontal – harmonis dengan sesama penjajah atau elit pribumi
• Gaya politik – penjajahan, politik belah bambu (memecah belah)
• Kepemimpinan – dari penjajah dan elit pribumi yang diperalat
• Partisipasi massa – sangat rendah bahkan tidak ada
• Keterlibatan militer – sangat besar
• Aparat negara – loyal kepada penjajah
• Stabilitas – stabil tapi dalam kondisi mudah pecah
3. Masa Demokrasi Liberal
• Penyaluran tuntutan – tinggi tapi sistem belum memadani
• Pemeliharaan nilai – penghargaan HAM tinggi
• Kapabilitas – baru sebagian yang dipergunakan, kebanyakan masih potensial
• Integrasi vertikal – dua arah, atas bawah dan bawah atas
• Integrasi horizontal- disintegrasi, muncul solidarity makers dan administrator
• Gaya politik - ideologis
• Kepemimpinan – angkatan sumpah pemuda tahun 1928
• Partisipasi massa – sangat tinggi, bahkan muncul kudeta
• Keterlibatan militer – militer dikuasai oleh sipil
• Aparat negara – loyak kepada kepentingan kelompok atau partai
• Stabilitas - instabilitas
4. Masa Demokrasi terpimpin
• Penyaluran tuntutan – tinggi tapi tidak tersalurkan karena adanya Front nas
• Pemeliharaan nilai – Penghormatan HAM rendah
• Kapabilitas – abstrak, distributif dan simbolik, ekonomi tidak maju
• Integrasi vertikal – atas bawah
• Integrasi horizontal – berperan solidarity makers,
• Gaya politik – ideolog, nasakom
• Kepemimpinan – tokoh kharismatik dan paternalistik
• Partisipasi massa - dibatasi
• Keterlibatan militer – militer masuk ke pemerintahan
• Aparat negara – loyal kepada negara
• Stabilitas - stabil
5. Masa Demokrasi Pancasila
• Penyaluran tuntutan – awalnya seimbang kemudian tidak terpenuhi karena fusi
• Pemeliharaan nilai – terjadi Pelanggaran HAM tapi ada pengakuan HAM
• Kapabilitas – sistem terbuka
• Integrasi vertikal – atas bawah
• Integrasi horizontal - nampak
• Gaya politik – intelek, pragmatik, konsep pembangunan
• Kepemimpinan – teknokrat dan ABRI
• Partisipasi massa – awalnya bebas terbatas, kemudian lebih banyak dibatasi
• Keterlibatan militer – merajalela dengan konsep dwifungsi ABRI
• Aparat negara – loyal kepada pemerintah (Golkar)
• Stabilitas stabil
6. Masa Reformasi
• Penyaluran tuntutan – tinggi dan terpenuhi
• Pemeliharaan nilai – Penghormatan HAM tinggi
• Kapabilitas –disesuaikan dengan Otonomi daerah
• Integrasi vertikal – dua arah, atas bawah dan bawah atas
• Integrasi horizontal – nampak, muncul kebebasan (euforia)
• Gaya politik - pragmatik
• Kepemimpinan – sipil, purnawiranan, politisi
• Partisipasi massa - tinggi
• Keterlibatan militer - dibatasi
1. Politeia artinya segala hal ihwal mengenai Negara. 2. Polites artinya warga Negara.
3. Politikus artinya ahli Negara atau orang yang paham tentang Negara atau negarawan.
4. Politicia artinya pemerintahan Negara.
Secara umum dapat dikatakan bahwa politik adalah kegiatan dalam suatu system politik atau Negara yang menyangkut proses penentuan tujuan dari system tersebut dan bagaimana melaksanakan tujuannya.
Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya.
Kekuasaan yaitu kemampuan sesorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok sesuai dengan keinginan dari pelaku.
Pembagian atau alokasi adalah pembagian dan penjatahan nilai-nilai dalam masyarakat. Jadi, politik merupakan pembagian dan penjatahan nilai-nilai secara mengikat.
Sistem pilitik suatu Negara selalu meliputi 2 suasana kehidupan. Yaitu:
a. Suasana kehidupan politik suatu pemerintah (the Govermental political sphere)
b. Suasana kehidupan politik rakyat (the sociopolitical sphere)
Suasana kehidupan politik pemerintah dikenal dengan istilah suprastruktur politik, yaitu bangunan “atas” suatu politik. Pada suprastruktur poliyik terdapat lembaga-lembaga Negara yang mempunyai peranan penting dalam proses kehidupan politik (pemerintah).
Suasana kehidupan politik pemerintahan ini umumnya dapat diketehuai dalam UUD atau konstitusi Negara yang bersangkutan. Suprastruktur politik Negara Indonesia meliputi MPR, DPR, Presiden, MA, BPK, danDPA.
Suasana kehidupan politik rakyat dikenal istilah “Infrastruktur politik” yaitu bangunan bawah suatu kehidupan politik, yakni hal-hal yang bersangkut paut dengan pengelompokan warga Negara atau anggota masyarakat ke dalam berbagai macam golongan yang biasa disebut sebagai kekuatan sosial politik dalam masyarakat.
Infrastruktur politik mempunyai 5 unsur diantaranya:
1. Partai politik
2. Kelompok kepentingan
3. Kelompok penekan
4. Alat komunikasi politik
5. Tokoh politik.
2.Objek politik
Ketua Umum Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB-PII), Nasrullah mengatakan pelajar sering dijadikan objek dalam politik tanpa ada daya tawar yang cukup untuk menentukan nasib bangsa ini ke depan.
Pelajar sebagai sebuah elemen yang tidak terpisahkan dalam bangsa ini harus memiliki peran aktif dalam menyelesaikan masalah bangsa ini, ujarnya pada acara pidato resepsi hari bangkit (Harba) PII ke 62 di Wisma Antara Jakarta, kemarin. Hadir dalam acara tersebut, Sofyan Djalil, Menteri Negara (Meneg) BUMN, Masyuri AM, Kepala Penerangan Depag RI, AM Fatwa, dan ratusan kader, simpatisan PII se Jabodetabek.
Menurut Nasrullah, cara yang paling sederhana adalah dengan memberikan suaranya dalam Pemilu (Pilpres), sebagai pemilih pemula pelajar memiliki suara yang cukup signifikan (30 persen).
Tetapi, Nasrullah menyayangkan bahwa dari beberapa kebijakan dapat merugikan pelajar/mahasiswa. Salah satunya UU BHP (Badan Hukum Pendidikan) yang disahkan DPR RI pada 17 Desember 2008 lalu.
Undang-undang ini berpeluang membuka celah diskriminasi dalam pendidikan, hanya yang memiliki kemampuan dan berharta cukup yang dapat mengenyam pendidikan lebih layak dan ber kualitas, katanya.
Padahal, lanjutnya, Tuhan telah memberikan manusia otak itu sama, hanya saja tinggal kemauan, keuletan, dan cara belajar yang sesuai. Tuhan pun, tidak membuat dinding pemisah bagi si bodoh dan yang pintar.
Nasrullah menyatakan hadirnya UU BHP ini telah membangun diskriminasi, sehingga dikhawatirkan akan terlihat kasta-kasta dalam dunia pendidikan.
Hal ini sebenarnya kita tidak inginkan karena kita berpendapat semua pelajar punya hak yang sama (dalam mengenyam pendidikan) yang dilindungi oleh Undang-undang, ujarnya.
Nasrullah memandang pendidikan bukan hanya proses transfer of Knowledge tapi Transfer of Value, sehingga penting untuk menciptakan suasana yang kondusif dan figur yang tepat untuk diikuti dalam proses belajar (teladan, Red), sehingga nantinya pelajar menjadi generasi yang lebih baik, tetapi jika ini tidak terwujud, maka tak terbayangkan generasi seperti apa yang akan ada kedepan?.
Satu hal yang mungkin tertinggal yaitu bagaimana kita menghadirkan jiwa-jiwa kritis terhadap pelajar jika memang hal yang ideal tadi tidak terpenuhi, sehingga pepatah Guru kencing berdiri, murid kencing berlari dengan paradigma pendidikan kritis, akan berubah menjadi, Guru kencing berdiri maka murid harus duduk, ungkapnya.
Menyikapi Dinamika Politik
Di tengah realitas politik yang menghangat pasca pemilihan legislatif (Pileg), hingga polemik soal koalisi antarcapres dan Cawapres yang akan memimpin bangsa Indonesia lima tahun kedepan, Nasrullah menyampaikan rasa keprihatinannya.
Para elit asyik mempertontonkan sinetron politik mulai dari pernyataan yang terkesan tidak konsisten, perpisahan antara Presiden dan Wakil Presiden (Wapres) yang didramatisir oleh media, sampai masalah calon-calon alternatif yang muncul dalam ring pertarungan politik yang ada, katanya.
Masyarakat sesungguhnya menunggu kepastian akan perbaikan politik ini dengan penuh harapan bahwa pesta demokrasi dapat berjalan baik, menghasilkan perbaikan langsung bagi kehidupan mereka (kesejahteraan dan Kemakmuran rakyat,Red). Tentulah wajar jika masyarakat merasakan jenuh menunggu proses yang begitu lama, dikhawatirkan masyarakat kehilangan harapan dan bertindak apatis terhadap pelaksanaan pemilu ini.
Untuk itulah, kepada seluruh Pemimpin dan kader PII se tanah air di Harba PII yang ke 62 PB PII berpesan: Pertama, tetap menjadi pejuang-pejuang moral untuk menyelamatkan bangsa dan agama, untuk mencapai peradaban yang lebih bermartabat dengan Ilmu.
Kedua, perjuangkan pendidikan yang baik, yang menitikberatkan pada Transfer of Value sebagai bekal untuk pelajar menghadapi realitas masa depan yang makin tidak bersahabat dengan nilai-nilai ketimuran.
Ketiga, pendidikan yang murah untuk pelajar, bukan hanya untuk orang-orang tertentu saja tapi untuk semua orang karena itu adalah hak yang paling azasi setelah kehidupan. Keempat, pemerintah harus memprioritaskan pendidikan dan pengembanganya dalam pembangunan dimasa datang, hal ini untuk membangun kemandirian bangsa dan Negara
3.sistem politik
Dalam perspektif sistem, sistem politik adalah subsistem dari sistem sosial. Perspektif atau pendekatan sistem melihat keseluruhan interaksi yang ada dalam suatu sistem yakni suatu unit yang relatif terpisah dari lingkungannya dan memiliki hubungan yang relatif tetap diantara elemen-elemen pembentuknya. Kehidupan politik dari perspektif sistem bisa dilihat dari berbagai sudut, misalnya dengan menekankan pada kelembagaan yang ada kita bisa melihat pada struktur hubungan antara berbagai lembaga atau institusi pembentuk sistem politik. Hubungan antara berbagai lembaga negara sebagai pusat kekuatan politik misalnya merupakan satu aspek, sedangkan peranan partai politik dan kelompok-kelompok penekan merupakan bagian lain dari suatu sistem politik. Dengan merubah sudut pandang maka sistem politik bisa dilihat sebagai kebudayaan politik, lembaga-lembaga politik, dan perilaku politik.
Model sistem politik yang paling sederhana akan menguraikan masukan (input) ke dalam sistem politik, yang mengubah melalui proses politik menjadi keluaran (output). Dalam model ini masukan biasanya dikaitkan dengan dukungan maupun tuntutan yang harus diolah oleh sistem politik lewat berbagai keputusan dan pelayanan publik yang diberian oleh pemerintahan untuk bisa menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat. Dalam perspektif ini, maka efektifitas sistem politik adalah kemampuannya untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat.
Namun dengan mengingat Machiavelli maka tidak jarang efektifitas sistem politik diukur dari kemampuannya untuk mempertahankan diri dari tekanan untuk berubah. Pandangan ini tidak membedakan antara sistem politik yang demokratis dan sistem politik yang otoriter.
4.sistem politik Indonesia
Sistem Politik Indonesia bisa dilihat dari proses politik yang terjadi di dalamnya. Namun dalam menguraikannya tidak cukup sekedar melihat sejarah Bangsa Indonesia tapi diperlukan analisis sistem agar lebih efektif. Dalam proses politik biasanya di dalamnya terdapat interaksi fungsional yaitu proses aliran yang berputar menjaga eksistensinya. Sistem politik merupakan sistem yang terbuka, karena sistem ini dikelilingi oleh lingkungan yang memiliki tantangan dan tekanan.
Dalam melakukan analisis sistem bisa dengan pendekatan satu segi pandangan saja seperti dari sistem kepartaian, tetapi juga tidak bisa dilihat dari pendekatan tradisional dengan melakukan proyeksi sejarah yang hanya berupa pemotretan sekilas. Pendekatan yang harus dilakukan dengan pendekatan integratif yaitu pendekatan sistem, pelaku-saranan-tujuan dan pengambilan keputusan
Proses politik mengisyaratkan harus adanya kapabilitas sistem. Kapabilitas sistem adalah kemampuan sistem untuk menghadapi kenyataan dan tantangan. Pandangan mengenai keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini berbeda diantara para pakar politik. Ahli politik zaman klasik seperti Aristoteles dan Plato dan diikuti oleh teoritisi liberal abad ke-18 dan 19 melihat prestasi politik dikuru dari sudut moral. Sedangkan pada masa modern sekarang ahli politik melihatnya dari tingkat prestasi (performance level) yaitu seberapa besar pengaruh lingkungan dalam masyarakat, lingkungan luar masyarakat dan lingkungan internasional.
Pengaruh ini akan memunculkan perubahan politik. Adapun pelaku perubahan politik bisa dari elit politik, atau dari kelompok infrastruktur politik dan dari lingkungan internasional.
Perubahan ini besaran maupun isi aliran berupa input dan output. Proes mengkonversi input menjadi output dilakukan oleh penjaga gawang (gatekeeper).
Terdapat 5 kapabilitas yang menjadi penilaian prestasi sebuah sistem politik :
1. Kapabilitas Ekstraktif, yaitu kemampuan Sumber daya alam dan sumber daya manusia. Kemampuan SDA biasanya masih bersifat potensial sampai kemudian digunakan secara maksimal oleh pemerintah. Seperti pengelolaan minyak tanah, pertambangan yang ketika datang para penanam modal domestik itu akan memberikan pemasukan bagi pemerintah berupa pajak. Pajak inilah yang kemudian menghidupkan negara.
2. Kapabilitas Distributif. SDA yang dimiliki oleh masyarakat dan negara diolah sedemikian rupa untuk dapat didistribusikan secara merata, misalkan seperti sembako yang diharuskan dapat merata distribusinya keseluruh masyarakat. Demikian pula dengan pajak sebagai pemasukan negara itu harus kembali didistribusikan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
3. Kapabilitas Regulatif (pengaturan). Dalam menyelenggaran pengawasan tingkah laku individu dan kelompok maka dibutuhkan adanya pengaturan. Regulasi individu sering memunculkan benturan pendapat. Seperti ketika pemerintah membutuhkan maka kemudian regulasi diperketat, hal ini mengakibatkan keterlibatan masyarakat terkekang.
4. kapabilitas simbolik, artinya kemampuan pemerintah dalam berkreasi dan secara selektif membuat kebijakan yang akan diterima oleh rakyat. Semakin diterima kebijakan yang dibuat pemerintah maka semakin baik kapabilitas simbolik sistem.
5. kapabilitas responsif, dalam proses politik terdapat hubungan antara input dan output, output berupa kebijakan pemerintah sejauh mana dipengaruhi oleh masukan atau adanya partisipasi masyarakat sebagai inputnya akan menjadi ukuran kapabilitas responsif.
6. kapabilitas dalam negeri dan internasional. Sebuah negara tidak bisa sendirian hidup dalam dunia yang mengglobal saat ini, bahkan sekarang banyak negara yang memiliki kapabilitas ekstraktif berupa perdagangan internasional. Minimal dalam kapabilitas internasional ini negara kaya atau berkuasa (superpower) memberikan hibah (grants) dan pinjaman (loan) kepada negara-negara berkembang.
Ada satu pendekatan lagi yang dibutuhkan dalam melihat proses politik yaitu pendekatan pembangunan, yang terdiri dari 2 hal:
a. Pembangunan politik masyarakat berupa mobilisasi, partisipasi atau pertengahan. Gaya agregasi kepentingan masyarakat ini bisa dilakukans ecara tawaran pragmatik seperti yang digunakan di AS atau pengejaran nilai yang absolut seperti di Uni Sovyet atau tradisionalistik.
b. Pembangunan politik pemerintah berupa stabilitas politik
PROSES POLITIK DI INDONESIA
Sejarah Sistem politik Indonesia dilihat dari proses politiknya bisa dilihat dari masa-masa berikut ini:
- Masa prakolonial
- Masa kolonial (penjajahan)
- Masa Demokrasi Liberal
- Masa Demokrasi terpimpin
- Masa Demokrasi Pancasila
- Masa Reformasi
Masing-masing masa tersebut kemudian dianalisis secara sistematis dari aspek :
• Penyaluran tuntutan
• Pemeliharaan nilai
• Kapabilitas
• Integrasi vertikal
• Integrasi horizontal
• Gaya politik
• Kepemimpinan
• Partisipasi massa
• Keterlibatan militer
• Aparat negara
• Stabilitas
Bila diuraikan kembali maka diperoleh analisis sebagai berikut :
1. Masa prakolonial (Kerajaan)
• Penyaluran tuntutan – rendah dan terpenuhi
• Pemeliharaan nilai – disesuikan dengan penguasa atau pemenang peperangan
• Kapabilitas – SDA melimpah
• Integrasi vertikal – atas bawah
• Integrasi horizontal – nampak hanya sesama penguasa kerajaan
• Gaya politik - kerajaan
• Kepemimpinan – raja, pangeran dan keluarga kerajaan
• Partisipasi massa – sangat rendah
• Keterlibatan militer – sangat kuat karena berkaitan dengan perang
• Aparat negara – loyal kepada kerajaan dan raja yang memerintah
• Stabilitas – stabil dimasa aman dan instabil dimasa perang
2. Masa kolonial (penjajahan)
• Penyaluran tuntutan – rendah dan tidak terpenuhi
• Pemeliharaan nilai – sering terjadi pelanggaran ham
• Kapabilitas – melimpah tapi dikeruk bagi kepentingan penjajah
• Integrasi vertikal – atas bawah tidak harmonis
• Integrasi horizontal – harmonis dengan sesama penjajah atau elit pribumi
• Gaya politik – penjajahan, politik belah bambu (memecah belah)
• Kepemimpinan – dari penjajah dan elit pribumi yang diperalat
• Partisipasi massa – sangat rendah bahkan tidak ada
• Keterlibatan militer – sangat besar
• Aparat negara – loyal kepada penjajah
• Stabilitas – stabil tapi dalam kondisi mudah pecah
3. Masa Demokrasi Liberal
• Penyaluran tuntutan – tinggi tapi sistem belum memadani
• Pemeliharaan nilai – penghargaan HAM tinggi
• Kapabilitas – baru sebagian yang dipergunakan, kebanyakan masih potensial
• Integrasi vertikal – dua arah, atas bawah dan bawah atas
• Integrasi horizontal- disintegrasi, muncul solidarity makers dan administrator
• Gaya politik - ideologis
• Kepemimpinan – angkatan sumpah pemuda tahun 1928
• Partisipasi massa – sangat tinggi, bahkan muncul kudeta
• Keterlibatan militer – militer dikuasai oleh sipil
• Aparat negara – loyak kepada kepentingan kelompok atau partai
• Stabilitas - instabilitas
4. Masa Demokrasi terpimpin
• Penyaluran tuntutan – tinggi tapi tidak tersalurkan karena adanya Front nas
• Pemeliharaan nilai – Penghormatan HAM rendah
• Kapabilitas – abstrak, distributif dan simbolik, ekonomi tidak maju
• Integrasi vertikal – atas bawah
• Integrasi horizontal – berperan solidarity makers,
• Gaya politik – ideolog, nasakom
• Kepemimpinan – tokoh kharismatik dan paternalistik
• Partisipasi massa - dibatasi
• Keterlibatan militer – militer masuk ke pemerintahan
• Aparat negara – loyal kepada negara
• Stabilitas - stabil
5. Masa Demokrasi Pancasila
• Penyaluran tuntutan – awalnya seimbang kemudian tidak terpenuhi karena fusi
• Pemeliharaan nilai – terjadi Pelanggaran HAM tapi ada pengakuan HAM
• Kapabilitas – sistem terbuka
• Integrasi vertikal – atas bawah
• Integrasi horizontal - nampak
• Gaya politik – intelek, pragmatik, konsep pembangunan
• Kepemimpinan – teknokrat dan ABRI
• Partisipasi massa – awalnya bebas terbatas, kemudian lebih banyak dibatasi
• Keterlibatan militer – merajalela dengan konsep dwifungsi ABRI
• Aparat negara – loyal kepada pemerintah (Golkar)
• Stabilitas stabil
6. Masa Reformasi
• Penyaluran tuntutan – tinggi dan terpenuhi
• Pemeliharaan nilai – Penghormatan HAM tinggi
• Kapabilitas –disesuaikan dengan Otonomi daerah
• Integrasi vertikal – dua arah, atas bawah dan bawah atas
• Integrasi horizontal – nampak, muncul kebebasan (euforia)
• Gaya politik - pragmatik
• Kepemimpinan – sipil, purnawiranan, politisi
• Partisipasi massa - tinggi
• Keterlibatan militer - dibatasi
Senin, 07 Juni 2010
Bab 12 HUkum kekuasaan dan wewenang
Masalah kepemimpinan adalah salah satu masalah public. Sedangkan masalah publik adalah suatu kondisi atau situasi yang menimbulkan kebutuhan atau ketidakpuasan pada sebagian orang yang menginginkan pertolongan atau perbaikan.
A. Pengertian Pemimpin
Dalam suatu organisasi kepemimpinan merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi. Kepemimpinan merupakan titik sentral dan penentu kebijakan dari kegiatan yang akan dilaksanakan dalam organisasi. Kepemimpinan adalah aktivitas untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar supaya mereka mau diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu . Sedangkan menurut Robbins Kepemimpian adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok untuk mencapai tujuan. Sedangkan menurut Ngalim Purwanto (1991:26) Kepemimpinan adalah sekumpulan dari serangkaian kemampuan dan sifat-sifat kepribadian, termasuk didalamnya kewibawaan untuk dijadikan sebagai sarana dalam rangka meyakinkan yang dipimpinnya agar mereka mau dan dapat melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dengan rela, penuh semangat, ada kegembiraan batin, serta merasa tidak terpaksa.
B. Wewenang Pemimpin
Seorang pemimpin tentunya memiliki wewenang. Wewenang ini menurut Soerjono Soekanto lebih bersifat hak dari seorang pemimpin daripada kekuasaan. Menurut Max Weber wewenang dapat dibedakan menjadi tiga yaitu :
1. Wewenang kharismatis
2. Wewenang tradisional
3. Wewenang rasional (legal).
Perbedaan ini didasarkan pada hubungan antara tindakan dengan dasar hukum yang berlaku. Di dalam ketiga bentuk wewenang itu Max Weber memperhatikan sifat dasar wewenang tersebut, karena itulah yang menentukan kedudukan seorang pemimpin yang mempunyai wewenang tersebut.
a. Pemimpin Kharismatis
Wewenang kharismatis merupakan wewenang yang didasarkan pada kharisma, yaitu suatu kemampuan khusus yang ada pada diri seseorang. Kemampuan khusus ini melekat pada seseorang dan bersifat given, dalam arti pemberian dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Orang-orang disekitarnya mengakui akan adanya kemampuan tersebut atas dasar kepercayaan dan mitos (taklid), karena pada dasarnya mereka menganggap bahwa sumber dari kemampuan tersebut adalah sesuatu yang berada di atas kemampuan dan kekuasaan manusia pada umumnya. Sumber kepercayaan dan pemujaan karena kemampuan khusus itu setidaknya pernah terbukti manfaat serta kegunaannya bagi masyaraat, walau terkadang masih sebatas sugesti sekalipun. Wewenang kepemimpinan kharismatis tersebut akan tetap bertahan selama dapat dibuktikan keampuhannya bagi seluruh masyarakat. Pemimpian kharismatis berwujud pada suatu wewenang untuk diri orang itu sendiri, dan dapat dilaksanakan terhadap segolongan orang atau bahkan terhadap bagian terbesar dari masyarakat. Jadi, dasar wewenang kharismatis bukanlah terletak pada suatu peraturan (hokum), akan tetapi bersumber pada diri pribadi individu sang pemimpin.
Contoh dari bentuk kepemimpinan kharismatis ini dapat dilihat pada kisah sejarah Nabi dan Rasul dahulu, penguasa-penguasa terkemuka dalam sejarah lainnya dan seterusnya. Bentuk wewenang kharismatis ini memang berasal dan lahir begitu saja; pemberian dari Tuhan atau memang dilahirkan alam
b. Pemimpin Tradisional
Wewenang tradisional dapat dimiliki oleh seseorang maupun sekelompok orang. Dengan kata lain, wewenang tersebut dimiliki oleh orang-orang yang menjadi anggota kelompok. Kelompok mana sudah lama sekali mempunyai kekuasaan di dalam suatu masyarakat. Wewenang tadi dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang bukan karena mereka memiliki kemampuan-kemampuan khusus seperti pada Wewenang Kharismatis. Melainkan kekuasaan dan wewenang tersebut telah melembaga dan bahkan menjiwai masyarakat. Demikian lamanya golongan tersebut memegang tampuk kekuasaan, masyarakat percaya dan mengakui kepemimpinannya. Ciri-ciri utama kepemimpinan tradisional adalah
1. Adanya ketentuan-ketentuan tradisional yang mengikat sang pemimpin yang memiliki wewenang, serta orang-orang lainnya di dalam masyarakat
2. Adanya wewenang yang lebih tinggi ketimbang kedudukan seseorang yang hadir secara pribadi
3. Selama tidak ada pertentangan dengan ketentuan-ketentuan tradisional, orang-orang dapat bertindak secara bebas. Sebagai contoh dari kepemimpinan ini adalah kekuasaan yang dimiliki oleh para pemimpin adat. Jenis kekuasaan ini lahir dan kemudian melembaga dan dipercayai secara turun temurun.
c. Pemimpin Legal – Rasional
Wewenang rasional atau legal adalah wewenang yang disandarkan pada system hokum yang berlaku di masyarakat. System hokum disini dipahamkan sebagai kaidah-kaidah yang telah diakui serta ditaati masyarakat, dan bahkan yang telah diperkuat oleh Negara. Pada wewenang yang didasarkan pada system hokum harus dilihat juga apakah system hukumnya bersandar pada tradisi, agama atau lainnya. Kemudian harus ditelaah juga hubungannya dengan system kekuasaan serta diuji pula apakah system hokum tadi cocok atau tidak dengan system kebudayaan masyarakat, supaya kehidupan dapat berjalan dengan tenang dan tenteram
Bentuk pemimpin yang cocok menggambarkan hal ini adalah wewenang yang dimiliki oleh Kepala Desa. Pada dasarnya pemimpin pada wilayah desa ini ditetapkan atas dasar consensus warganya, yang kemudian dilegalkan oleh aturan Negara (Kepala Desa).
Selain itu wewenang atau Fungsi kepemimpinan ditinjau dari sisi kemasyarakatan adalah sebagai berikut :
1. Fungsi Perencanaan
Seorang pemimpin perlu membuat perencanaan yang menyeluruh bagi organisasi dan bagi diri sendiri selaku penanggung jawab tercapainya tujuan dari kepemimpinan
2. Fungsi memandang ke depan
Seorang pemimpin yang senantiasa memandang ke depan berarti akan mampu mendorong apa yang akan terjadi serta selalu waspada terhadap kemungkinan. Hal ini memberikan jaminan bahwa jalannya proses pekerjaan ke arah yang dituju akan dapat berlangusng terus menerus tanpa mengalami hambatan dan penyimpangan yang merugikan. Oleh sebab seorang pemimpin harus peka terhadap perkembangan situasi baik di dalam maupun diluar organisasi sehingga mampu mendeteksi hambatan-hambatan yang muncul, baik yang kecil maupun yang besar.
3. Fungsi pengembangan loyalitas
Pengembangan kesetiaan ini tidak saja diantara pengikut, tetapi juga unutk para pemimpin tingkat rendah dan menengah dalam organisai. Untuk mencapai kesetiaan ini, seseorang pemimpin sendiri harus memberi teladan baik dalam pemikiran, kata-kata, maupun tingkah laku sehari – hari yang menunjukkan kepada anak buahnya pemimpin sendiri tidak pernah mengingkari dan menyeleweng dari loyalitas segala sesuatu tidak akan dapat berjalan sebagaimana mestinya.
4. Fungsi Pengawasan
Fungsi pengawasan merupakan fungsi pemimpin untuk senantiasa meneliti kemampuan pelaksanaan rencana. Dengan adanya pengawasan maka hambatan – hambatan dapat segera diketemukan, untuk dipecahkan sehingga semua kegiatan kembali berlangsung menurut rel yang elah ditetapkan dalam rencana .
5. Fungsi mengambil keputusan
Pengambilan keputusan merupakan fungsi kepemimpinan yang tidak mudah dilakukan. Oleh sebab itu banyak pemimpin yang menunda untuk melakukan pengambilan keputusan. Bahkan ada pemimpin yang kurang berani mengambil keputusan. Metode pengambilan keputusan dapat dilakukan secara individu, kelompok tim atau panitia, dewan, komisi, referendum, mengajukan usul tertulis dan lain sebagainya.
Dalam setiap pengambilan keputusan selalu diperlukan kombinasi yang sebaik-baiknya dari :
a. Perasaan, firasat atau intuisi
b. Pengumpulan, pengolahan, penilaian dan interpretasi fakta-fakta secara rasional – sistematis.
c. Pengalaman baik yang langusng maupun tidak langsung.
d. Wewenang formal yang dimiliki oleh pengambil keputusan. Dalam pengambilan keputusan seorang pemimpin dapat menggunakan metode – metode sebagai berikut :
i. Keputusan – keputusan yang sifatnya sederhana individual artinya secara sendirian.
ii. Keputusan – keputusan yang sifatnya seragam dan diberikan secara terus menerus dapat diserahkan kepada orang – orang yang terlatih khusus untuk itu atau dilakukan dengan menggunakan komputer.
iii. Keputusan – keputusan yang bersifat rumit dan kompleks dalam arti menjadi tanggung jawab masyarkat lebih baik diambil secara kelompok atau majelis. Keputusan – keputusan yang bersifat rumit dan kompleks sebab masalahnya menyangkut perhitungan – perhitungan secara teknis agae diambil dengan bantuan seorang ahli dalam bidang yang akan diambil keputusannya.
6. Fungsi memberi motivasi
Seorang pemipin perlu selalu bersikap penuh perhatian terhadap anak buahnya. Pemimpin harus dapat memberi semangat, membesarkan hati, mempengaruhi anak buahnya agar rajinbekerja dan menunjukkan prestasi yang baik terhadap organisasi yang dipimpinnya. Pemberian anugerah yang berupa ganjaran, hadiah, piujian atau ucapan terima kasih sangat diperlukan oleh anak buah sebab mereka merasa bahwa hasil jerih payahnya diperhatikan dan dihargai oleh pemimpinnya.
Di lain pihak, seorang pemimpin harus berani dan mampu mengambil tindakan terhadap anak buahnya yang menyeleweng, yang malas dan yang telah berbuat salah sehingga merugikan organisasi, dengan jalan memberi celaan, teguran, dan hukuman yang setimpal dengan kesalahannya.
A. Pengertian Pemimpin
Dalam suatu organisasi kepemimpinan merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi. Kepemimpinan merupakan titik sentral dan penentu kebijakan dari kegiatan yang akan dilaksanakan dalam organisasi. Kepemimpinan adalah aktivitas untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar supaya mereka mau diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu . Sedangkan menurut Robbins Kepemimpian adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok untuk mencapai tujuan. Sedangkan menurut Ngalim Purwanto (1991:26) Kepemimpinan adalah sekumpulan dari serangkaian kemampuan dan sifat-sifat kepribadian, termasuk didalamnya kewibawaan untuk dijadikan sebagai sarana dalam rangka meyakinkan yang dipimpinnya agar mereka mau dan dapat melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dengan rela, penuh semangat, ada kegembiraan batin, serta merasa tidak terpaksa.
B. Wewenang Pemimpin
Seorang pemimpin tentunya memiliki wewenang. Wewenang ini menurut Soerjono Soekanto lebih bersifat hak dari seorang pemimpin daripada kekuasaan. Menurut Max Weber wewenang dapat dibedakan menjadi tiga yaitu :
1. Wewenang kharismatis
2. Wewenang tradisional
3. Wewenang rasional (legal).
Perbedaan ini didasarkan pada hubungan antara tindakan dengan dasar hukum yang berlaku. Di dalam ketiga bentuk wewenang itu Max Weber memperhatikan sifat dasar wewenang tersebut, karena itulah yang menentukan kedudukan seorang pemimpin yang mempunyai wewenang tersebut.
a. Pemimpin Kharismatis
Wewenang kharismatis merupakan wewenang yang didasarkan pada kharisma, yaitu suatu kemampuan khusus yang ada pada diri seseorang. Kemampuan khusus ini melekat pada seseorang dan bersifat given, dalam arti pemberian dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Orang-orang disekitarnya mengakui akan adanya kemampuan tersebut atas dasar kepercayaan dan mitos (taklid), karena pada dasarnya mereka menganggap bahwa sumber dari kemampuan tersebut adalah sesuatu yang berada di atas kemampuan dan kekuasaan manusia pada umumnya. Sumber kepercayaan dan pemujaan karena kemampuan khusus itu setidaknya pernah terbukti manfaat serta kegunaannya bagi masyaraat, walau terkadang masih sebatas sugesti sekalipun. Wewenang kepemimpinan kharismatis tersebut akan tetap bertahan selama dapat dibuktikan keampuhannya bagi seluruh masyarakat. Pemimpian kharismatis berwujud pada suatu wewenang untuk diri orang itu sendiri, dan dapat dilaksanakan terhadap segolongan orang atau bahkan terhadap bagian terbesar dari masyarakat. Jadi, dasar wewenang kharismatis bukanlah terletak pada suatu peraturan (hokum), akan tetapi bersumber pada diri pribadi individu sang pemimpin.
Contoh dari bentuk kepemimpinan kharismatis ini dapat dilihat pada kisah sejarah Nabi dan Rasul dahulu, penguasa-penguasa terkemuka dalam sejarah lainnya dan seterusnya. Bentuk wewenang kharismatis ini memang berasal dan lahir begitu saja; pemberian dari Tuhan atau memang dilahirkan alam
b. Pemimpin Tradisional
Wewenang tradisional dapat dimiliki oleh seseorang maupun sekelompok orang. Dengan kata lain, wewenang tersebut dimiliki oleh orang-orang yang menjadi anggota kelompok. Kelompok mana sudah lama sekali mempunyai kekuasaan di dalam suatu masyarakat. Wewenang tadi dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang bukan karena mereka memiliki kemampuan-kemampuan khusus seperti pada Wewenang Kharismatis. Melainkan kekuasaan dan wewenang tersebut telah melembaga dan bahkan menjiwai masyarakat. Demikian lamanya golongan tersebut memegang tampuk kekuasaan, masyarakat percaya dan mengakui kepemimpinannya. Ciri-ciri utama kepemimpinan tradisional adalah
1. Adanya ketentuan-ketentuan tradisional yang mengikat sang pemimpin yang memiliki wewenang, serta orang-orang lainnya di dalam masyarakat
2. Adanya wewenang yang lebih tinggi ketimbang kedudukan seseorang yang hadir secara pribadi
3. Selama tidak ada pertentangan dengan ketentuan-ketentuan tradisional, orang-orang dapat bertindak secara bebas. Sebagai contoh dari kepemimpinan ini adalah kekuasaan yang dimiliki oleh para pemimpin adat. Jenis kekuasaan ini lahir dan kemudian melembaga dan dipercayai secara turun temurun.
c. Pemimpin Legal – Rasional
Wewenang rasional atau legal adalah wewenang yang disandarkan pada system hokum yang berlaku di masyarakat. System hokum disini dipahamkan sebagai kaidah-kaidah yang telah diakui serta ditaati masyarakat, dan bahkan yang telah diperkuat oleh Negara. Pada wewenang yang didasarkan pada system hokum harus dilihat juga apakah system hukumnya bersandar pada tradisi, agama atau lainnya. Kemudian harus ditelaah juga hubungannya dengan system kekuasaan serta diuji pula apakah system hokum tadi cocok atau tidak dengan system kebudayaan masyarakat, supaya kehidupan dapat berjalan dengan tenang dan tenteram
Bentuk pemimpin yang cocok menggambarkan hal ini adalah wewenang yang dimiliki oleh Kepala Desa. Pada dasarnya pemimpin pada wilayah desa ini ditetapkan atas dasar consensus warganya, yang kemudian dilegalkan oleh aturan Negara (Kepala Desa).
Selain itu wewenang atau Fungsi kepemimpinan ditinjau dari sisi kemasyarakatan adalah sebagai berikut :
1. Fungsi Perencanaan
Seorang pemimpin perlu membuat perencanaan yang menyeluruh bagi organisasi dan bagi diri sendiri selaku penanggung jawab tercapainya tujuan dari kepemimpinan
2. Fungsi memandang ke depan
Seorang pemimpin yang senantiasa memandang ke depan berarti akan mampu mendorong apa yang akan terjadi serta selalu waspada terhadap kemungkinan. Hal ini memberikan jaminan bahwa jalannya proses pekerjaan ke arah yang dituju akan dapat berlangusng terus menerus tanpa mengalami hambatan dan penyimpangan yang merugikan. Oleh sebab seorang pemimpin harus peka terhadap perkembangan situasi baik di dalam maupun diluar organisasi sehingga mampu mendeteksi hambatan-hambatan yang muncul, baik yang kecil maupun yang besar.
3. Fungsi pengembangan loyalitas
Pengembangan kesetiaan ini tidak saja diantara pengikut, tetapi juga unutk para pemimpin tingkat rendah dan menengah dalam organisai. Untuk mencapai kesetiaan ini, seseorang pemimpin sendiri harus memberi teladan baik dalam pemikiran, kata-kata, maupun tingkah laku sehari – hari yang menunjukkan kepada anak buahnya pemimpin sendiri tidak pernah mengingkari dan menyeleweng dari loyalitas segala sesuatu tidak akan dapat berjalan sebagaimana mestinya.
4. Fungsi Pengawasan
Fungsi pengawasan merupakan fungsi pemimpin untuk senantiasa meneliti kemampuan pelaksanaan rencana. Dengan adanya pengawasan maka hambatan – hambatan dapat segera diketemukan, untuk dipecahkan sehingga semua kegiatan kembali berlangsung menurut rel yang elah ditetapkan dalam rencana .
5. Fungsi mengambil keputusan
Pengambilan keputusan merupakan fungsi kepemimpinan yang tidak mudah dilakukan. Oleh sebab itu banyak pemimpin yang menunda untuk melakukan pengambilan keputusan. Bahkan ada pemimpin yang kurang berani mengambil keputusan. Metode pengambilan keputusan dapat dilakukan secara individu, kelompok tim atau panitia, dewan, komisi, referendum, mengajukan usul tertulis dan lain sebagainya.
Dalam setiap pengambilan keputusan selalu diperlukan kombinasi yang sebaik-baiknya dari :
a. Perasaan, firasat atau intuisi
b. Pengumpulan, pengolahan, penilaian dan interpretasi fakta-fakta secara rasional – sistematis.
c. Pengalaman baik yang langusng maupun tidak langsung.
d. Wewenang formal yang dimiliki oleh pengambil keputusan. Dalam pengambilan keputusan seorang pemimpin dapat menggunakan metode – metode sebagai berikut :
i. Keputusan – keputusan yang sifatnya sederhana individual artinya secara sendirian.
ii. Keputusan – keputusan yang sifatnya seragam dan diberikan secara terus menerus dapat diserahkan kepada orang – orang yang terlatih khusus untuk itu atau dilakukan dengan menggunakan komputer.
iii. Keputusan – keputusan yang bersifat rumit dan kompleks dalam arti menjadi tanggung jawab masyarkat lebih baik diambil secara kelompok atau majelis. Keputusan – keputusan yang bersifat rumit dan kompleks sebab masalahnya menyangkut perhitungan – perhitungan secara teknis agae diambil dengan bantuan seorang ahli dalam bidang yang akan diambil keputusannya.
6. Fungsi memberi motivasi
Seorang pemipin perlu selalu bersikap penuh perhatian terhadap anak buahnya. Pemimpin harus dapat memberi semangat, membesarkan hati, mempengaruhi anak buahnya agar rajinbekerja dan menunjukkan prestasi yang baik terhadap organisasi yang dipimpinnya. Pemberian anugerah yang berupa ganjaran, hadiah, piujian atau ucapan terima kasih sangat diperlukan oleh anak buah sebab mereka merasa bahwa hasil jerih payahnya diperhatikan dan dihargai oleh pemimpinnya.
Di lain pihak, seorang pemimpin harus berani dan mampu mengambil tindakan terhadap anak buahnya yang menyeleweng, yang malas dan yang telah berbuat salah sehingga merugikan organisasi, dengan jalan memberi celaan, teguran, dan hukuman yang setimpal dengan kesalahannya.
Bab 11 sistem pemerintahan
1. Sistem pemerintahan
Sistem pemerintahan adalah sistem yang dimiliki suatu negara dalam mengatur pemerintahannya.
Sesuai dengan kondisi negara masing-masing, sistem ini dibedakan menjadi:
1. Presidensial
2. Parlementer
3. Komunis
4. Demokrasi liberal
5. liberal
6. kapital
Sistem pemerintahan mempunyai sistem dan tujuan untuk menjaga suatu kestabilan negara itu. Namun di beberapa negara sering terjadi tindakan separatisme karena sistem pemerintahan yang dianggap memberatkan rakyat ataupun merugikan rakyat. Sistem pemerintahan mempunyai fondasi yang kuat dimana tidak bisa diubah dan menjadi statis. Jika suatu pemerintahan mempunya sistem pemerintahan yang statis, absolut maka hal itu akan berlangsung selama-lamanya hingga adanya desakan kaum minoritas untuk memprotes hal tersebut.
Secara luas berarti sistem pemerintahan itu menjaga kestabilan masyarakat, menjaga tingkah laku kaum mayoritas maupun minoritas, menjaga fondasi pemerintahan, menjaga kekuatan politik, pertahanan, ekonomi, keamanan sehingga menjadi sistem pemerintahan yang kontinu dan demokrasi dimana seharusnya masyarakat bisa ikut turut andil dalam pembangunan sistem pemerintahan tersebut.Hingga saat ini hanya sedikit negara yang bisa mempraktikkan sistem pemerintahan itu secara menyeluruh.
Secara sempit,Sistem pemerintahan hanya sebagai sarana kelompok untuk menjalankan roda pemerintahan guna menjaga kestabilan negara dalam waktu relatif lama dan mencegah adanya perilaku reaksioner maupun radikal dari rakyatnya itu sendiri
• 2.demokrasi dan prinsip demokrasi
MAKNA DAN HAKEKAT DEMOKRASI
MAKNA :demos ~ rakyat; cratos~ kedaulatan
Demokrasi: keadaan negara yang dalam sistem pemerintahaannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.
HAKEKAT: pemerintah dari rakyat, pemerintahan oleh rakyat, pemerintahan untuk rakyat.
Norma-norma yang menjadi pandangan hidup demokratis:
1. Pentingnya kesadaran akan pluralisme
2. Musyawarah
3. Pertimbanganmoral
4. Pemufakatan yang jujur dan sehat
5. Pemenuhan segi-segi ekonomi
6. Kerja sama antar warga masyarakat dan sikap mempercayai itikad baik masing- masing
7. Pandangan hidup demokratis harus dijadikan unsur yang menyatu dengan sistem pendidikan.
UNSUR –UNSURPENEGAK DEMOKRASI -1
NEGARA HUKUM:
b. Adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan pada lembagauntuk menjamin perlindungan HAM
c. Pemerintahan berdasarkan peraturan
d. Adanya peradilan administrasi
e. Istilah negara hukum dapat ditemukan dalam penjelasan UUD 1945: “Indonesia adalahnegara yg berdasarkan atas hukum dan bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka”.
MASYARAKAT MADANI, dicirikan dengan masyarakat terbuka, bebas daripengaruh kekuasaan dan tekanan negara, kritis dan berpartisipasi aktif, serta egaliter(kesetaraan).
Syaratpentingdemokrasi: terciptanya partisipasi masyarakat dalam proses pegambilan keputusan yang dilakukan oleh negara/pemerintah.
UNSUR –UNSURPENEGAK DEMOKRASI -2
Parpol:
struktur kelembagaan politik yg anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yg sama, yaitu memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dalam mewujudkan kebijakannya.
Kelompokgerakan / organisasimasyarakat:
sekumpulan orang yang berhimpun dalam satu wadah organisasi yang berorientasi pada pemberdayaan warganya.
Kelompok penekan= kelompok kepentingan:
sekelompok orang dalam sebuah wadah organisasi yang didasarkan pada kriteria profesionalitas dan keilmuan tertentu, seperti: KADIN, AIPI, ICMI, LIPI, dsb.
Fungsi parpol sebagai:
(a) Sarana komunikasi politik;
(b) Sarana sosialisasi politik;
(c) Sarana rekrutmen kader dan anggota politik
(d) Sarana pengatur konflik
PERS YANG BEBAS & BERTANGGUNG JAWAB
PRINSIP DAN PARAMETER DEMOKRASI
PRINSIP DEMOKRASI, terdiridari:
1.
persamaan
2.
kebebasan, dan
3.
pluralisme
Robert A. Dahl -PRINSIP DEMOKRASI, terdiridari:
Kontrol atas keputusan pemerintah, Pemilihan yang teliti dan jujur, Hak memilih dan dipilih, Kebebasan menyatakan pendapatan tanpa ancaman, Kebebasan mengakses informasi, dan Kebebasan berserikat
Parameter Negara Demokratis:
Masalah Pembentukan Negara:
menentukan kualitas, watakdan pola hubungan yang akan terbangun. Pemilu dipercaya sbg salah satu instrumen penting.
Dasar Kekuasaan:
konsep legitiminasi kekuasaan &pertanggungjawaban langsung kepada rakyat.
Susunan Kekuasaan Negara:
Kekuasaan negara dijalankan secara distributif untuk menghindari penumpukan kekuasaan dalam satu tangan/wilayah. Penyelenggaraan negara harus diatur dalam suatu tata aturan yg membatasi dan sekaligus memberikan koridor dalam pelaksanaannya, yaitu desentaralisasi & kekuasaan tidak menjadi tidak terbatas.
Demokrasi pada prinsipnya merupakan suatu kategori dinamis, bukan statis, dan sebagai konsep yang universal. Anders Uhlin (1997: 10) menyatakan bahwa implementasi demokrasi di suatu negara dapat berbeda dengan negara lain, karena karakteristik sosial masyarakat dapat mempengaruhi penerapan nilai-nilai demokrasi yanguniversal tersebut. Demokrasi di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa belum tentu dengan pola yang sama dapat diimplementasikan di negara Asia dan Afrika. Bahkan, pemilu yang dilaksanakan di Jerman memiliki perbedaan dengan pola yang diterapkan di Inggris. Oleh karena itu, demokrasi pada dasarnya culturally bounded (dibatasi oleh budaya) ketika diterapkan dalam suatu masyarakat.
Bung Hatta (1902-1980), salah seorang ’Founding Father’ menyatakan bahwa negara ini hanyalah negara Indonesia apabila dalam kenyataannya merupakan milik rakyat. Implementasi nilai-nilai kerakyatan mesti mengejawantah melalui suatu sistem institusional kekuasaanpolitik yang dikenal dengan demokrasi. Hatta menegaskan bahwa perjuangan kemerdekaan kita pada saat yang sama merupakan perjuangan bagi demokrasi dan bagi kemanusiaan. Penegakkan nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan, versi Hatta, merupakan tujuan yang signifikan dalam pergerakan dan perjuangan bagi perwujudan Indonesia adil dan makmur.
Cita-cita demokrasi yang banyak sedikitnya bersendi kepada organisasi sosial di dalam masyarakat asli sendiri. Dalam segi politik dilaksanakan sistem perwakilan rakyat dengan musyawarah, berdasarkan kepentingan umum. Dalam segi ekonomi dilaksanakan koperasi sebagai dasar perekonomian rakyat, ditambah dengan kewajiban pemerintah untuk menguasai atau mengawasi cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Dalam segi sosial adanya jaminan untuk perkembangan kepribadian manusia Indonesia yang bahagia, sejahtera, dan susila menjadi tujuan negara. Cita-cita luhur ini, menurut Hatta, tumbuh dengan semangat kebangsaan yang tinggi meretas perjuangan kemerdekaan dan menjadi dasar bagi pembentukan negara Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Dengan semangat kebangsaan seperti itu, pemerintahan rakyat dijalankan menurut peraturan yang telah dimufakati dengan bermusyawarah. Keputusan dicapai secara mufakat, bulat dan tidak lonjong. Hatta menyatakan, “Sebagai tanda Republik Indonesia adalah negara demokrasi yang berdasarkan kedaulatan rakyat, segala beban yang ditimpakan kepada rakyat, maupun beban harta dan keuangan atau beban darah, harus berdasarkan undang-undang, persetujuan Presiden dan DPR” (Mohammad Hatta, Menuju Negara Hukum, h. 12).
Mengacu kepada pemikiran tentang karakteristik dan parameter demokrasi, Robert A. Dahl dalam karyanya Dilemma of Pluralist Democracy mengemukakan beberapa kriteria yang mesti terwujud dalam suatu sistem demokratis. Pertama, pengontrolan terhadap keputusan pemerintah mengenai kebijakan secara konstitusional diberikan kepada para pejabat yang terpilih. Kedua, melalui pemilihan yang teliti dan jujur para pejabat dipilih tanpa paksaan. Ketiga, semua orang dewasa secara praktis mempunyai hak untuk memilih dalam pemilihan pejabat pemerintahan. Keempat, semua orang dewasa secara praktis juga mempunyai hak untuk mencalonkan diri pada jabatan-jabatan dalam pemerintahan, meskipun pembatasan usia untuk menduduki suatu jabatanpolitik mungkin lebih ketat ketimbang hak pilihnya. Kelima, rakyat mempunyai hak untuk menyuarakan pendapat tanpa ancaman hukum yang berat mengenai berbagai persoalanpolitik pada tataran yang lebih luas, termasuk mengkritisi para pejabat, sistem pemerintahan, ideologi yang berlaku dan tatanan sosio-ekonomi. Keenam, rakyat mempunyai hak untuk mendapatkan sumber-sumber informasi alternatif yang ada dan dilindungi oleh hukum. Ketujuh, dalam meningkatkan hak-hak rakyat, warga negara mempunyai hak dan kebebasan untuk membentuk suatu lembaga atau organisasi-organisasi yang relatif independen, termasuk membentuk berbagai partaipolitik dan perkumpulan yang independen. Pemikiran Robert A. Dahl ini menunjukkan tentang indikator sebuah democratic political order sebagai kerangka acuan ada tidaknya perwujudan demokrasi dalam suatu pemerintahan negara.Prinsip merupakan kebenaran yang pokok/dasar orang berfikir, bertindak dan lain sebagainya. Dalam menjalankan prinsip-prinsip demokrasi secara umum, terdapat 2 landasan pokok yang menjadi dasar yang merupakan syarat mutlak untuk harus diketahui oleh setiap orang yang menjadi pemimpin negara/rakyat/masyarakat/organisasi/part... yaitu:
1. Suatu negara itu adalah milik seluruh rakyatnya, jadi bukan milik perorangan atau milik suatu keluarga/kelompok/golongan/partai, dan bukan pula milik penguasa negara.
2. Siapapun yang menjadi pemegang kekuasaan negara, prinsipnya adalah selaku ‘pengurus’ rakyat, yaitu harus bisa bersikap dan bertindak adil terhadap seluruh rakyatnya, dan sekaligus selaku ‘pelayan’ rakyat, yaitu tidak boleh/bisa bertindak zalim terhadap ‘tuannya’, yakni rakyat.
Adapun prinsip pokok demokrasi Pancasila adalah sebagai berikut: (Demokrasi Pancasila, http://www.e-dukasi.net/modul_online/MO_...
1. Pemerintahan berdasarkan hukum: dalam penjelasan UUD 1945 dikatakan:
a. Indonesia ialah negara berdasarkan hukum (rechtstaat) dan tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat),
b. Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan tidak terbatas),
c. Kekuasaan yang tertinggi berada di tangan MPR.
2. Perlindungan terhadap hak asasi manusia,
3. Pengambilan keputusan atas dasar musyawarah,
4. Peradilan yang merdeka berarti badan peradilan (kehakiman) merupakan badan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lain contoh Presiden, BPK, DPR, DPA atau lainnya,
5. adanya partai politik dan organisasi sosial politik karena berfungsi “Untuk menyalurkan aspirasi rakyat”,
6. Pelaksanaan Pemilihan Umum;
7. Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR (pasal 1 ayat 2 UUD 1945),
8. Keseimbangan antara hak dan kewajiban,
9. Pelaksanaan kebebasan yang bertanggung jawab secara moral kepada Tuhan YME, diri sendiri, masyarakat, dan negara ataupun orang lain,
10. Menjunjung tin
Sistem pemerintahan adalah sistem yang dimiliki suatu negara dalam mengatur pemerintahannya.
Sesuai dengan kondisi negara masing-masing, sistem ini dibedakan menjadi:
1. Presidensial
2. Parlementer
3. Komunis
4. Demokrasi liberal
5. liberal
6. kapital
Sistem pemerintahan mempunyai sistem dan tujuan untuk menjaga suatu kestabilan negara itu. Namun di beberapa negara sering terjadi tindakan separatisme karena sistem pemerintahan yang dianggap memberatkan rakyat ataupun merugikan rakyat. Sistem pemerintahan mempunyai fondasi yang kuat dimana tidak bisa diubah dan menjadi statis. Jika suatu pemerintahan mempunya sistem pemerintahan yang statis, absolut maka hal itu akan berlangsung selama-lamanya hingga adanya desakan kaum minoritas untuk memprotes hal tersebut.
Secara luas berarti sistem pemerintahan itu menjaga kestabilan masyarakat, menjaga tingkah laku kaum mayoritas maupun minoritas, menjaga fondasi pemerintahan, menjaga kekuatan politik, pertahanan, ekonomi, keamanan sehingga menjadi sistem pemerintahan yang kontinu dan demokrasi dimana seharusnya masyarakat bisa ikut turut andil dalam pembangunan sistem pemerintahan tersebut.Hingga saat ini hanya sedikit negara yang bisa mempraktikkan sistem pemerintahan itu secara menyeluruh.
Secara sempit,Sistem pemerintahan hanya sebagai sarana kelompok untuk menjalankan roda pemerintahan guna menjaga kestabilan negara dalam waktu relatif lama dan mencegah adanya perilaku reaksioner maupun radikal dari rakyatnya itu sendiri
• 2.demokrasi dan prinsip demokrasi
MAKNA DAN HAKEKAT DEMOKRASI
MAKNA :demos ~ rakyat; cratos~ kedaulatan
Demokrasi: keadaan negara yang dalam sistem pemerintahaannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.
HAKEKAT: pemerintah dari rakyat, pemerintahan oleh rakyat, pemerintahan untuk rakyat.
Norma-norma yang menjadi pandangan hidup demokratis:
1. Pentingnya kesadaran akan pluralisme
2. Musyawarah
3. Pertimbanganmoral
4. Pemufakatan yang jujur dan sehat
5. Pemenuhan segi-segi ekonomi
6. Kerja sama antar warga masyarakat dan sikap mempercayai itikad baik masing- masing
7. Pandangan hidup demokratis harus dijadikan unsur yang menyatu dengan sistem pendidikan.
UNSUR –UNSURPENEGAK DEMOKRASI -1
NEGARA HUKUM:
b. Adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan pada lembagauntuk menjamin perlindungan HAM
c. Pemerintahan berdasarkan peraturan
d. Adanya peradilan administrasi
e. Istilah negara hukum dapat ditemukan dalam penjelasan UUD 1945: “Indonesia adalahnegara yg berdasarkan atas hukum dan bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka”.
MASYARAKAT MADANI, dicirikan dengan masyarakat terbuka, bebas daripengaruh kekuasaan dan tekanan negara, kritis dan berpartisipasi aktif, serta egaliter(kesetaraan).
Syaratpentingdemokrasi: terciptanya partisipasi masyarakat dalam proses pegambilan keputusan yang dilakukan oleh negara/pemerintah.
UNSUR –UNSURPENEGAK DEMOKRASI -2
Parpol:
struktur kelembagaan politik yg anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yg sama, yaitu memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dalam mewujudkan kebijakannya.
Kelompokgerakan / organisasimasyarakat:
sekumpulan orang yang berhimpun dalam satu wadah organisasi yang berorientasi pada pemberdayaan warganya.
Kelompok penekan= kelompok kepentingan:
sekelompok orang dalam sebuah wadah organisasi yang didasarkan pada kriteria profesionalitas dan keilmuan tertentu, seperti: KADIN, AIPI, ICMI, LIPI, dsb.
Fungsi parpol sebagai:
(a) Sarana komunikasi politik;
(b) Sarana sosialisasi politik;
(c) Sarana rekrutmen kader dan anggota politik
(d) Sarana pengatur konflik
PERS YANG BEBAS & BERTANGGUNG JAWAB
PRINSIP DAN PARAMETER DEMOKRASI
PRINSIP DEMOKRASI, terdiridari:
1.
persamaan
2.
kebebasan, dan
3.
pluralisme
Robert A. Dahl -PRINSIP DEMOKRASI, terdiridari:
Kontrol atas keputusan pemerintah, Pemilihan yang teliti dan jujur, Hak memilih dan dipilih, Kebebasan menyatakan pendapatan tanpa ancaman, Kebebasan mengakses informasi, dan Kebebasan berserikat
Parameter Negara Demokratis:
Masalah Pembentukan Negara:
menentukan kualitas, watakdan pola hubungan yang akan terbangun. Pemilu dipercaya sbg salah satu instrumen penting.
Dasar Kekuasaan:
konsep legitiminasi kekuasaan &pertanggungjawaban langsung kepada rakyat.
Susunan Kekuasaan Negara:
Kekuasaan negara dijalankan secara distributif untuk menghindari penumpukan kekuasaan dalam satu tangan/wilayah. Penyelenggaraan negara harus diatur dalam suatu tata aturan yg membatasi dan sekaligus memberikan koridor dalam pelaksanaannya, yaitu desentaralisasi & kekuasaan tidak menjadi tidak terbatas.
Demokrasi pada prinsipnya merupakan suatu kategori dinamis, bukan statis, dan sebagai konsep yang universal. Anders Uhlin (1997: 10) menyatakan bahwa implementasi demokrasi di suatu negara dapat berbeda dengan negara lain, karena karakteristik sosial masyarakat dapat mempengaruhi penerapan nilai-nilai demokrasi yanguniversal tersebut. Demokrasi di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa belum tentu dengan pola yang sama dapat diimplementasikan di negara Asia dan Afrika. Bahkan, pemilu yang dilaksanakan di Jerman memiliki perbedaan dengan pola yang diterapkan di Inggris. Oleh karena itu, demokrasi pada dasarnya culturally bounded (dibatasi oleh budaya) ketika diterapkan dalam suatu masyarakat.
Bung Hatta (1902-1980), salah seorang ’Founding Father’ menyatakan bahwa negara ini hanyalah negara Indonesia apabila dalam kenyataannya merupakan milik rakyat. Implementasi nilai-nilai kerakyatan mesti mengejawantah melalui suatu sistem institusional kekuasaanpolitik yang dikenal dengan demokrasi. Hatta menegaskan bahwa perjuangan kemerdekaan kita pada saat yang sama merupakan perjuangan bagi demokrasi dan bagi kemanusiaan. Penegakkan nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan, versi Hatta, merupakan tujuan yang signifikan dalam pergerakan dan perjuangan bagi perwujudan Indonesia adil dan makmur.
Cita-cita demokrasi yang banyak sedikitnya bersendi kepada organisasi sosial di dalam masyarakat asli sendiri. Dalam segi politik dilaksanakan sistem perwakilan rakyat dengan musyawarah, berdasarkan kepentingan umum. Dalam segi ekonomi dilaksanakan koperasi sebagai dasar perekonomian rakyat, ditambah dengan kewajiban pemerintah untuk menguasai atau mengawasi cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Dalam segi sosial adanya jaminan untuk perkembangan kepribadian manusia Indonesia yang bahagia, sejahtera, dan susila menjadi tujuan negara. Cita-cita luhur ini, menurut Hatta, tumbuh dengan semangat kebangsaan yang tinggi meretas perjuangan kemerdekaan dan menjadi dasar bagi pembentukan negara Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Dengan semangat kebangsaan seperti itu, pemerintahan rakyat dijalankan menurut peraturan yang telah dimufakati dengan bermusyawarah. Keputusan dicapai secara mufakat, bulat dan tidak lonjong. Hatta menyatakan, “Sebagai tanda Republik Indonesia adalah negara demokrasi yang berdasarkan kedaulatan rakyat, segala beban yang ditimpakan kepada rakyat, maupun beban harta dan keuangan atau beban darah, harus berdasarkan undang-undang, persetujuan Presiden dan DPR” (Mohammad Hatta, Menuju Negara Hukum, h. 12).
Mengacu kepada pemikiran tentang karakteristik dan parameter demokrasi, Robert A. Dahl dalam karyanya Dilemma of Pluralist Democracy mengemukakan beberapa kriteria yang mesti terwujud dalam suatu sistem demokratis. Pertama, pengontrolan terhadap keputusan pemerintah mengenai kebijakan secara konstitusional diberikan kepada para pejabat yang terpilih. Kedua, melalui pemilihan yang teliti dan jujur para pejabat dipilih tanpa paksaan. Ketiga, semua orang dewasa secara praktis mempunyai hak untuk memilih dalam pemilihan pejabat pemerintahan. Keempat, semua orang dewasa secara praktis juga mempunyai hak untuk mencalonkan diri pada jabatan-jabatan dalam pemerintahan, meskipun pembatasan usia untuk menduduki suatu jabatanpolitik mungkin lebih ketat ketimbang hak pilihnya. Kelima, rakyat mempunyai hak untuk menyuarakan pendapat tanpa ancaman hukum yang berat mengenai berbagai persoalanpolitik pada tataran yang lebih luas, termasuk mengkritisi para pejabat, sistem pemerintahan, ideologi yang berlaku dan tatanan sosio-ekonomi. Keenam, rakyat mempunyai hak untuk mendapatkan sumber-sumber informasi alternatif yang ada dan dilindungi oleh hukum. Ketujuh, dalam meningkatkan hak-hak rakyat, warga negara mempunyai hak dan kebebasan untuk membentuk suatu lembaga atau organisasi-organisasi yang relatif independen, termasuk membentuk berbagai partaipolitik dan perkumpulan yang independen. Pemikiran Robert A. Dahl ini menunjukkan tentang indikator sebuah democratic political order sebagai kerangka acuan ada tidaknya perwujudan demokrasi dalam suatu pemerintahan negara.Prinsip merupakan kebenaran yang pokok/dasar orang berfikir, bertindak dan lain sebagainya. Dalam menjalankan prinsip-prinsip demokrasi secara umum, terdapat 2 landasan pokok yang menjadi dasar yang merupakan syarat mutlak untuk harus diketahui oleh setiap orang yang menjadi pemimpin negara/rakyat/masyarakat/organisasi/part... yaitu:
1. Suatu negara itu adalah milik seluruh rakyatnya, jadi bukan milik perorangan atau milik suatu keluarga/kelompok/golongan/partai, dan bukan pula milik penguasa negara.
2. Siapapun yang menjadi pemegang kekuasaan negara, prinsipnya adalah selaku ‘pengurus’ rakyat, yaitu harus bisa bersikap dan bertindak adil terhadap seluruh rakyatnya, dan sekaligus selaku ‘pelayan’ rakyat, yaitu tidak boleh/bisa bertindak zalim terhadap ‘tuannya’, yakni rakyat.
Adapun prinsip pokok demokrasi Pancasila adalah sebagai berikut: (Demokrasi Pancasila, http://www.e-dukasi.net/modul_online/MO_...
1. Pemerintahan berdasarkan hukum: dalam penjelasan UUD 1945 dikatakan:
a. Indonesia ialah negara berdasarkan hukum (rechtstaat) dan tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat),
b. Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan tidak terbatas),
c. Kekuasaan yang tertinggi berada di tangan MPR.
2. Perlindungan terhadap hak asasi manusia,
3. Pengambilan keputusan atas dasar musyawarah,
4. Peradilan yang merdeka berarti badan peradilan (kehakiman) merupakan badan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lain contoh Presiden, BPK, DPR, DPA atau lainnya,
5. adanya partai politik dan organisasi sosial politik karena berfungsi “Untuk menyalurkan aspirasi rakyat”,
6. Pelaksanaan Pemilihan Umum;
7. Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR (pasal 1 ayat 2 UUD 1945),
8. Keseimbangan antara hak dan kewajiban,
9. Pelaksanaan kebebasan yang bertanggung jawab secara moral kepada Tuhan YME, diri sendiri, masyarakat, dan negara ataupun orang lain,
10. Menjunjung tin
Bab 13 public choice
Public choice
Public choice in economic theory is the use of modern economic tools to study problems that are traditionally in the province of political science. From the perspective of political science, it may be seen as the subset of positive political theory which deals with subjects in which material interests are assumed to predominate.
In particular, it studies the behavior of politicians and government officials as mostly self-interested agents and their interactions in the social system either as such or under alternative constitutional rules. These can be represented a number of ways, including standard constrained utility maximization, game theory, or decision theory. Public choice analysis has roots in positive analysis ("what is") but is often used for normative purposes ("what ought to be"), to identify a problem or suggest how a system could be improved by changes in constitutional rules.[1] Another related field is social choice theory.[2]
Origins and formation
The modern literature in Public Choice began with Duncan Black, who in 1948 identified the underlying concepts of what would become median voter theory. He also wrote The Theory of Committees and Elections in 1958. Gordon Tullock[3] refers to him as the "father of public choice theory".
James M. Buchanan and Gordon Tullock coauthored The Calculus of Consent: Logical Foundations of Constitutional Democracy (1962), considered one of the landmark works that founded the discipline of public choice theory. In particular (1962, p. v), the book is about the political organization of a free society. But its method, conceptual apparatus, and analytics "are derived, essentially, from the discipline that has as its subject the economic organization of such a society." The book focuses on positive-economic analysis as to the development of constitutional democracy but in an ethical context of consent. The consent takes the form of a compensation principle like Pareto efficiency for making a policy change and unanimity at least no opposition as a point of departure for social choice.
Kenneth Arrow's Social Choice and Individual Values (1951) influenced formulation of the theory. Among other important works are Anthony Downs's An Economic Theory of Democracy (1957) and Mancur Olson's The Logic of Collective Action (1965).
Public choice theory is commonly associated with George Mason University, where Tullock and Buchanan are currently faculty members. Their early work took place at the University of Virginia and Virginia Polytechnic Institute and State University, hence identification of a Virginia school of political economy.
Development of public choice theory accelerated with the formation of the Public Choice Society in the United States in 1965. The loci of the Society became its journal Public Choice and its annual meetings. The journal and meetings mainly attracted economists and political scientists. The economists brought their choice-based, model-building skill. The political scientists brought their broad knowledge of different political systems and detailed knowledge of institutions and political interaction. Scholars in related fields, such as philosophy, public administration, and sociology, also contributed.
In 1970 the median voter theory was accepted without question in public choice, but by 1980 it had been assaulted on so many fronts that it was almost abandoned. Works by Romer and Rosenthal (1979) and McKelvey (1976) showed that, when political issues are considered multidimensional rather than single dimensional, an agenda setter could start at any point in the issue space and, by strategically selecting issues, end up at any other point in the issue space, so that there is no unique and stable majority rule outcome.
During the same decade, the probabilistic voting theory started to replace the median voter theory, since it clearly showed how it was able to find Nash Equilibria also in multidimensional space. The theory was later completely formalized by Peter Coughlin.[4].
] Special interests
Public choice theory is often used to explain how political decision-making results in outcomes that conflict with the preferences of the general public. For example, many advocacy group and pork barrel projects are not the desire of the overall democracy. However, it makes sense for politicians to support these projects. It may make them feel powerful and important. It can also benefit them financially by opening the door to future wealth as lobbyists. The project may be of interest to the politician's local constituency, increasing district votes or campaign contributions. The politician pays little or no cost to gain these benefits, as he is spending public money. Special-interest lobbyists are also behaving rationally. They can gain government favors worth millions or billions for relatively small investments. They face a risk of losing out to their competitors if they don't seek these favors. The taxpayer is also behaving rationally. The cost of defeating any one government give-away is very high, while the benefits to the individual taxpayer are very small. Each citizen pays only a few pennies or a few dollars for any given government favor, while the costs of ending that favor would be many times higher. Everyone involved has rational incentives to do exactly what they're doing, even though the desire of the general constituency is opposite. (It is notable that the political system considered here is very much that of the United States, with "pork" a main aim of individual legislators; in countries such as Britain with strong party systems the issues would differ somewhat.) Costs are diffused, while benefits are concentrated. The voices of vocal minorities with much to gain are heard over those of indifferent majorities with little to lose.Decision making processes and the state
One way to organize the subject matter studied by Public Choice theorists is to begin with the foundations of the state itself. According to this procedure, the most fundamental subject is the origin of government. Although some work has been done on anarchy, autocracy, revolution, and even war, the bulk of the study in this area has concerned the fundamental problem of collectively choosing constitutional rules. This work assumes a group of individuals who aim to form a government. Then it focuses on the problem of hiring the agents required to carry out government functions agreed upon by the members.
The main questions are: (1) how to hire competent and trustworthy individuals to whom day-to-day decision-making can be delegated and (2) how to set up an effective system of oversight and sanctions for such individuals. To answer these questions it is necessary to assess the effects of creating different loci of power and decision-making within a government; to examine voting and the various means of selecting candidates and choosing winners in elections; to assess various behavioral rules that might be established to influence the behavior of elected and appointed government officials; and to evaluate alternative constitutional and legal rights that could be reserved for citizens, especially rights relating to citizen oversight and the avoidance of harm due to the coercive power of government agents.
These are difficult assessments to make. In practice, most work in the field of Public Choice has dealt with more limited issues. Extensive work has been done on different voting systems and, more generally, on how to transform what voters are assumed to want into a coherent "collective preference". Of some interest has been the discovery that a general collective preference function cannot be derived from even seemingly mild conditions. This is often called Arrow's impossibility theorem. The theorem, an economic generalization of the voting paradox, suggests that voters have no reason to expect that, short of dictatorship, even the best rules for making collective decisions will lead to the kind of consistency attributed to individual choice.
Much work has been done on the loose connection between decisions that we can imagine being made by a full contingent of citizens with zero collective decision-making costs and those made by legislators representing different voting constituencies. Of special concern has been logrolling and other negotiations carried out by legislators in exercising their law-making powers. Important factors in such legislative decisions are political parties and pressure groups. Accordingly, Public Choicers have studied these institutions extensively. The study of how legislatures make decisions and how various constitutional rules can constrain legislative decisions is a major sub-field in Public Choice.
Bureaucracy
Another major sub-field is the study of bureaucracy. The usual model depicts the top bureaucrats as being chosen by the chief executive and legislature, depending on whether the democratic system is presidential and parliamentary. The typical image of a bureau chief is a person on a fixed salary who is concerned with pleasing those who appointed him. The latter have the power to hire and fire him more or less at will. The bulk of the bureaucrats, however, are civil servants whose jobs and pay are protected by a civil service system against major changes by their appointed bureau chiefs. This image is often compared with that of a business owner whose profit varies with the success of production and sales, who aims to maximize profit, and who can hire and fire employees at will.
Rent seeking
A field that is closely related to public choice is "rent seeking." This field combines the study of a market economy with that of government. Thus, one might regard it as a "new political economy." Its basic thesis is that when both a market economy and government are present, government agents are a source of numerous special market privileges. Both the government agents and self-interested market participants seek these privileges in order to partake in the monopoly rent that they provide. When such privileges are granted, they reduce the efficiency of the economic system. In addition, the rent-seekers use resources that could otherwise be used to produce goods that are valued by consumers.
Rent seeking is broader than Public Choice in that it applies to autocracies as well as democracies and, therefore, is not directly concerned with collective decision-making. However, the obvious pressures it exerts on legislators, executives, bureaucrats, and even judges are factors that public choice theory must account for in its analysis collective decision-making rules and institutions. Moreover, the members of a collective who are planning a government would be wise to take prospective rent seeking into account.
Political market failure: undemocratic governments
Public Choice Theory has been developed largely in the context of democratic political systems of the variety that exist in Europe and North America. A pioneering work—and, perhaps, the only work to-date of its kind—seeking to analyze collective decision-making based on rules and institutions that characterize the Less Developed Countries was undertaken by Muzaffar Ali Isani at Georgetown University. It focuses largely on the assumptions of a generation of development economists who have articulated the role of the state or political action as an efficient alternative to 'economic' market failures. Isani has suggested that once we introduce 'political' market imperfections as generally found in these countries, we may be confronted with the possibility that far from correcting market failures, political action may actually prove to be a source of further distortions in the economy. He then goes on to develop an essentially economic paradigm of politics appropriate to many developing countries and which is consistent with the axioms of economic theory.
Perspective
Prior to the emergence of public choice theory, many economists tended to consider the state as an agent outside the scope of economic theory, whose actions depend on different considerations than those driving economic agents. (The many other economists who did place the state and its agents within such theory include Vilfredo Pareto.)
Public choice theory attempts to look at governments from the perspective of the bureaucrats and politicians who compose them, and makes the assumption that they act based on Budget-maximizing model in a self-interested way for the purpose of maximizing their own economic benefits (e.g. their personal wealth). The theory aims to apply economic analysis (usually decision theory and game theory) to the political decision-making process in order to reveal certain systematic trends towards inefficient government policies. There are also Austrian variants of public choice theory (suggested by Mises, Hayek, Kirzner, Lopez, and Boettke) in which it is assumed that bureaucrats and politicians may be benevolent but have access to limited information. The assumption that such benevolent political agents possess limited information for making decisions often results in conclusions similar to those generated separately by means of the rational self-interest assumptions. Randall Holcombe and Richard Wagner have also developed the notion of "Political Entrepreneurship".
Claims
One of the basic claims that results from public choice theory is that good government policies in a democracy are an underprovided public good, because of the rational ignorance of the voters. Each voter is faced with a tiny probability that his vote will change the result of the elections, while gathering the relevant information necessary for a well-informed voting decision requires substantial time and effort. Therefore, the rational decision for each voter is to be generally ignorant of politics and perhaps even abstain from voting. Rational choice theorists claim that this explains the gross ignorance of most citizens in modern democracies as well as low voter turnout. Rational abstention does, however, create the "Paradox of voting" whereby strict costs benefit analysis implies that nobody should vote.
Special interests
While good government tends to be a pure public good for the mass of voters, there may be many advocacy groups that have strong incentives for lobbying the government to implement specific inefficient policies that would benefit them at the expense of the general public. For example, lobbying by the sugar manufacturers might result in an inefficient subsidy for the production of sugar, either direct or by protectionist measures. The costs of such inefficient policy are dispersed over all citizens, and therefore unnoticeable to each individual. On the other hand, the benefits are shared by a small special-interest group with a strong incentive to perpetuate the policy by further lobbying. The vast majority of voters will be unaware of the effort due to rational ignorance. Therefore, theorists expect that numerous special interests will be able to successfully lobby for various inefficient policies. In public choice theory, such scenarios of inefficient government policies are referred to as government failure — a term akin to market failure from earlier theoretical welfare economics.
"Expressive interests" and democratic irrationality
Geoffrey Brennan and Loren Lomasky claim that democratic policy is biased to favor "expressive interests" and neglect practical and utilitarian considerations. Brennan and Lomasky differentiate between instrumental interests (any kind of practical benefit, both monetary and non-monetary) and expressive interests (forms of expression like applause). According to Brennan and Lomasky, the voting paradox can be resolved by differentiating between expressive and instrumental interests. While voters have virtually no instrumental incentive to vote, they do have an expressive interest in voting. Since voters vote for expressive reasons, politicians win by targeting the median expressive preferences. Bias in favor of expressive interests means that public policy often ignores important practical considerations. For example, there are instrumental costs to restricting international trade. Yet many people favor protectionism as an expression of nationalism, despite its economic costs.
This argument has led some public choice scholars to claim that politics is plagued by irrationality. In articles published in the Econ Journal Watch, economist Bryan Caplan contended that voter choices and government economic decisions are inherently irrational.[3][4]. Caplan‘s ideas are more fully developed in his book The Myth of the Rational Voter (Princeton University Press 2007). In opposition to the arguments put forward by economist Donald Wittman in his The Myth of Democratic Failure, Caplan claims that politics is biased in favor of irrational beliefs.
According to Caplan, democracy effectively subsidizes irrational beliefs. Anyone who derives utility from potentially irrational policies (such as protectionism) can receive private benefits while imposing the costs of such beliefs on the general public. Were people to bear the full costs of their “irrational beliefs”, they would lobby for them optimally, taking into account both their instrumental consequences and their expressive appeal. Instead, democracy oversupplies policies based on irrational beliefs. Caplan defines rationality mainly in terms of mainstream price theory, pointing out that mainstream economists tend to oppose protectionism and government regulation more than the general population, and that more educated people are closer to economists on this score, even after controlling for confounding factors such as income, wealth or political affiliation. One criticism is that many economists do not share Caplan's views on the nature of public choice. However, Caplan does have some data to support his position. Economists have, in fact, often been frustrated by public opposition to economic reasoning. As Sam Peltzman puts it "Economists know what steps would improve the efficiency of HSE [health, safety, and environmental] regulation, and they have not been bashful advocates of them. These steps include substituting markets in property rights, such as emission rights, for command and control. . . . The real problem lies deeper than any lack of reform proposals or failure to press them. It is our inability to understand their lack of political appeal "George Stigler's Contribution to the Economic Analysis of Regulation" 101 J. Pol. Econ. 818, 830 (October 1993).
] Rent seeking
Another major claim is that much of political activity is a form of rent seeking which wastes resources. Gordon Tullock, Jagdish Bhagwati, and Anne Osborn Krueger have argued that rent seeking has caused considerable waste. In a parallel line of research Fred McChesney claims that rent extraction causes considerable waste, especially in the developing world. As the term implies, rent extraction happens when officials use threats to extort payments from private parties.
] Political stance
From such results it is sometimes asserted that public choice theory has an anti-state tilt. But there is ideological diversity among public choice theorists. Mancur Olson for example was an advocate of a strong state and instead opposed political interest group lobbying. More generally, James Buchanan has suggested that public choice theory be interpreted as "politics without romance," a critical approach to a pervasive earlier notion of idealized politics set against market failure. As such it is more a correction of the earlier scientific record, almost requiring a certain pragmatism in comparing alternative politicized institutional structures.[5]
Remedies for the public choice problem
Many proposals have been advanced for reducing what is often seen as excessive or improper influence on public choices by those who invest most to influence them. From game theory we have the insight that a winning strategy in competitive games should have a random component so that the opponent can't anticipate one's moves. This is confirmed by the historical resort to having decisions made by officials selected at random, perhaps with a complex process of intermediate qualifying steps, called sortition. That is what is done in countries using a trial jury selected at random.
Applications and wider recognition
Public choice's application to government regulation was developed by George Stigler (1971) and Sam Peltzman (1976). William Niskanen is generally considered the founder of Public Choice literature on the bureaucracy.
Several notable Public Choice scholars have been awarded the Nobel Prize in Economics, including James M. Buchanan (1986), George Stigler (1982), and Gary Becker (1992). In addition, Vernon Smith (2002) was President of Public Choice Society from 1988 to 1990.
Criticism
In their 1994 book Pathologies of Rational Choice Theory, political scientists Donald P. Green and Ian Shapiro argue that rational choice theory (of which public choice theory is a branch) has contributed less to the field than its popularity suggests.[6] They write:
The discrepancy between the faith that practitioners place in rational choice theory and its failure to deliver empirically warrants closer inspection of rational choice theorizing as a scientific enterprise.[7]
Linda McQuaig writes in All You Can Eat:
The absurdity of public-choice theory is captured by Nobel Prize-winning economist Amartya Sen in the following little scenario: “Can you direct me to the railway station?” asks the stranger. "Certainly," says the local, pointing in the opposite direction, towards the post office, "and would you post this letter for me on your way?" "Certainly," says the stranger, resolving to open it to see if it contains anything worth stealing.
It should be noted that scenarios of this type contain an implicit assumption of zero probability of the two strangers ever interacting again. With a positive probability of future interactions and the propensity of humans to use tit-for-tat type strategies (someone harms or helps you, you return the favor in kind), the optimal totally self-interested decision may be to point to the train station. Furthermore, as David D. Friedman observes, the benefit of cheating the stranger on one occasion may not be worth the mental effort of conceiving a way to do so and weighing the odds of suffering the consequences.
(Sen, in fact, has participated in the development of public choice theory, in such works as Collective Choice and Social Welfare.)
Public Choice theorists have been criticized for failure to explain human actions motivated by non-rational or non-economic considerations. They respond, however, that the theory explains a broad variety of actions since humanitarian or even a madman's actions are also rational. This way, the argument goes, public choice allows to account for a much broader variety of actions than any other approach, and in the example above, Sen's rational actors may or may not act in a way he identified, since public choice approach does not mean the actors necessarily take advantage of one another; it only implies that the actions are 'rational'. Action to direct someone to a train station would thus be just as rational as the action to direct the stranger away for one's own reasons. Furthermore, only 'rationalism' helps to explain human motivation, whereas any other approaches such as humanitarian considerations or the willingness to get extra profit (which is in no way the same as 'rational action') would only explain a part of the developments and fails to present a comprehensive picture. Also, Bryan Caplan argues against rationality in politics, and Brennan and Lomasky account for expressive (non-economic) motives in politics.
Schram and Caterino (2006) contains a fundamental methodological criticism of public choice theory for promoting the view that the natural science model is the only appropriate methodology in social science and that political science should follow this model, with its emphasis on quantification and mathematization. Schram and Caterino argue instead for methodological pluralism.
• y Bryan Caplan
Public choice in economic theory is the use of modern economic tools to study problems that are traditionally in the province of political science. From the perspective of political science, it may be seen as the subset of positive political theory which deals with subjects in which material interests are assumed to predominate.
In particular, it studies the behavior of politicians and government officials as mostly self-interested agents and their interactions in the social system either as such or under alternative constitutional rules. These can be represented a number of ways, including standard constrained utility maximization, game theory, or decision theory. Public choice analysis has roots in positive analysis ("what is") but is often used for normative purposes ("what ought to be"), to identify a problem or suggest how a system could be improved by changes in constitutional rules.[1] Another related field is social choice theory.[2]
Origins and formation
The modern literature in Public Choice began with Duncan Black, who in 1948 identified the underlying concepts of what would become median voter theory. He also wrote The Theory of Committees and Elections in 1958. Gordon Tullock[3] refers to him as the "father of public choice theory".
James M. Buchanan and Gordon Tullock coauthored The Calculus of Consent: Logical Foundations of Constitutional Democracy (1962), considered one of the landmark works that founded the discipline of public choice theory. In particular (1962, p. v), the book is about the political organization of a free society. But its method, conceptual apparatus, and analytics "are derived, essentially, from the discipline that has as its subject the economic organization of such a society." The book focuses on positive-economic analysis as to the development of constitutional democracy but in an ethical context of consent. The consent takes the form of a compensation principle like Pareto efficiency for making a policy change and unanimity at least no opposition as a point of departure for social choice.
Kenneth Arrow's Social Choice and Individual Values (1951) influenced formulation of the theory. Among other important works are Anthony Downs's An Economic Theory of Democracy (1957) and Mancur Olson's The Logic of Collective Action (1965).
Public choice theory is commonly associated with George Mason University, where Tullock and Buchanan are currently faculty members. Their early work took place at the University of Virginia and Virginia Polytechnic Institute and State University, hence identification of a Virginia school of political economy.
Development of public choice theory accelerated with the formation of the Public Choice Society in the United States in 1965. The loci of the Society became its journal Public Choice and its annual meetings. The journal and meetings mainly attracted economists and political scientists. The economists brought their choice-based, model-building skill. The political scientists brought their broad knowledge of different political systems and detailed knowledge of institutions and political interaction. Scholars in related fields, such as philosophy, public administration, and sociology, also contributed.
In 1970 the median voter theory was accepted without question in public choice, but by 1980 it had been assaulted on so many fronts that it was almost abandoned. Works by Romer and Rosenthal (1979) and McKelvey (1976) showed that, when political issues are considered multidimensional rather than single dimensional, an agenda setter could start at any point in the issue space and, by strategically selecting issues, end up at any other point in the issue space, so that there is no unique and stable majority rule outcome.
During the same decade, the probabilistic voting theory started to replace the median voter theory, since it clearly showed how it was able to find Nash Equilibria also in multidimensional space. The theory was later completely formalized by Peter Coughlin.[4].
] Special interests
Public choice theory is often used to explain how political decision-making results in outcomes that conflict with the preferences of the general public. For example, many advocacy group and pork barrel projects are not the desire of the overall democracy. However, it makes sense for politicians to support these projects. It may make them feel powerful and important. It can also benefit them financially by opening the door to future wealth as lobbyists. The project may be of interest to the politician's local constituency, increasing district votes or campaign contributions. The politician pays little or no cost to gain these benefits, as he is spending public money. Special-interest lobbyists are also behaving rationally. They can gain government favors worth millions or billions for relatively small investments. They face a risk of losing out to their competitors if they don't seek these favors. The taxpayer is also behaving rationally. The cost of defeating any one government give-away is very high, while the benefits to the individual taxpayer are very small. Each citizen pays only a few pennies or a few dollars for any given government favor, while the costs of ending that favor would be many times higher. Everyone involved has rational incentives to do exactly what they're doing, even though the desire of the general constituency is opposite. (It is notable that the political system considered here is very much that of the United States, with "pork" a main aim of individual legislators; in countries such as Britain with strong party systems the issues would differ somewhat.) Costs are diffused, while benefits are concentrated. The voices of vocal minorities with much to gain are heard over those of indifferent majorities with little to lose.Decision making processes and the state
One way to organize the subject matter studied by Public Choice theorists is to begin with the foundations of the state itself. According to this procedure, the most fundamental subject is the origin of government. Although some work has been done on anarchy, autocracy, revolution, and even war, the bulk of the study in this area has concerned the fundamental problem of collectively choosing constitutional rules. This work assumes a group of individuals who aim to form a government. Then it focuses on the problem of hiring the agents required to carry out government functions agreed upon by the members.
The main questions are: (1) how to hire competent and trustworthy individuals to whom day-to-day decision-making can be delegated and (2) how to set up an effective system of oversight and sanctions for such individuals. To answer these questions it is necessary to assess the effects of creating different loci of power and decision-making within a government; to examine voting and the various means of selecting candidates and choosing winners in elections; to assess various behavioral rules that might be established to influence the behavior of elected and appointed government officials; and to evaluate alternative constitutional and legal rights that could be reserved for citizens, especially rights relating to citizen oversight and the avoidance of harm due to the coercive power of government agents.
These are difficult assessments to make. In practice, most work in the field of Public Choice has dealt with more limited issues. Extensive work has been done on different voting systems and, more generally, on how to transform what voters are assumed to want into a coherent "collective preference". Of some interest has been the discovery that a general collective preference function cannot be derived from even seemingly mild conditions. This is often called Arrow's impossibility theorem. The theorem, an economic generalization of the voting paradox, suggests that voters have no reason to expect that, short of dictatorship, even the best rules for making collective decisions will lead to the kind of consistency attributed to individual choice.
Much work has been done on the loose connection between decisions that we can imagine being made by a full contingent of citizens with zero collective decision-making costs and those made by legislators representing different voting constituencies. Of special concern has been logrolling and other negotiations carried out by legislators in exercising their law-making powers. Important factors in such legislative decisions are political parties and pressure groups. Accordingly, Public Choicers have studied these institutions extensively. The study of how legislatures make decisions and how various constitutional rules can constrain legislative decisions is a major sub-field in Public Choice.
Bureaucracy
Another major sub-field is the study of bureaucracy. The usual model depicts the top bureaucrats as being chosen by the chief executive and legislature, depending on whether the democratic system is presidential and parliamentary. The typical image of a bureau chief is a person on a fixed salary who is concerned with pleasing those who appointed him. The latter have the power to hire and fire him more or less at will. The bulk of the bureaucrats, however, are civil servants whose jobs and pay are protected by a civil service system against major changes by their appointed bureau chiefs. This image is often compared with that of a business owner whose profit varies with the success of production and sales, who aims to maximize profit, and who can hire and fire employees at will.
Rent seeking
A field that is closely related to public choice is "rent seeking." This field combines the study of a market economy with that of government. Thus, one might regard it as a "new political economy." Its basic thesis is that when both a market economy and government are present, government agents are a source of numerous special market privileges. Both the government agents and self-interested market participants seek these privileges in order to partake in the monopoly rent that they provide. When such privileges are granted, they reduce the efficiency of the economic system. In addition, the rent-seekers use resources that could otherwise be used to produce goods that are valued by consumers.
Rent seeking is broader than Public Choice in that it applies to autocracies as well as democracies and, therefore, is not directly concerned with collective decision-making. However, the obvious pressures it exerts on legislators, executives, bureaucrats, and even judges are factors that public choice theory must account for in its analysis collective decision-making rules and institutions. Moreover, the members of a collective who are planning a government would be wise to take prospective rent seeking into account.
Political market failure: undemocratic governments
Public Choice Theory has been developed largely in the context of democratic political systems of the variety that exist in Europe and North America. A pioneering work—and, perhaps, the only work to-date of its kind—seeking to analyze collective decision-making based on rules and institutions that characterize the Less Developed Countries was undertaken by Muzaffar Ali Isani at Georgetown University. It focuses largely on the assumptions of a generation of development economists who have articulated the role of the state or political action as an efficient alternative to 'economic' market failures. Isani has suggested that once we introduce 'political' market imperfections as generally found in these countries, we may be confronted with the possibility that far from correcting market failures, political action may actually prove to be a source of further distortions in the economy. He then goes on to develop an essentially economic paradigm of politics appropriate to many developing countries and which is consistent with the axioms of economic theory.
Perspective
Prior to the emergence of public choice theory, many economists tended to consider the state as an agent outside the scope of economic theory, whose actions depend on different considerations than those driving economic agents. (The many other economists who did place the state and its agents within such theory include Vilfredo Pareto.)
Public choice theory attempts to look at governments from the perspective of the bureaucrats and politicians who compose them, and makes the assumption that they act based on Budget-maximizing model in a self-interested way for the purpose of maximizing their own economic benefits (e.g. their personal wealth). The theory aims to apply economic analysis (usually decision theory and game theory) to the political decision-making process in order to reveal certain systematic trends towards inefficient government policies. There are also Austrian variants of public choice theory (suggested by Mises, Hayek, Kirzner, Lopez, and Boettke) in which it is assumed that bureaucrats and politicians may be benevolent but have access to limited information. The assumption that such benevolent political agents possess limited information for making decisions often results in conclusions similar to those generated separately by means of the rational self-interest assumptions. Randall Holcombe and Richard Wagner have also developed the notion of "Political Entrepreneurship".
Claims
One of the basic claims that results from public choice theory is that good government policies in a democracy are an underprovided public good, because of the rational ignorance of the voters. Each voter is faced with a tiny probability that his vote will change the result of the elections, while gathering the relevant information necessary for a well-informed voting decision requires substantial time and effort. Therefore, the rational decision for each voter is to be generally ignorant of politics and perhaps even abstain from voting. Rational choice theorists claim that this explains the gross ignorance of most citizens in modern democracies as well as low voter turnout. Rational abstention does, however, create the "Paradox of voting" whereby strict costs benefit analysis implies that nobody should vote.
Special interests
While good government tends to be a pure public good for the mass of voters, there may be many advocacy groups that have strong incentives for lobbying the government to implement specific inefficient policies that would benefit them at the expense of the general public. For example, lobbying by the sugar manufacturers might result in an inefficient subsidy for the production of sugar, either direct or by protectionist measures. The costs of such inefficient policy are dispersed over all citizens, and therefore unnoticeable to each individual. On the other hand, the benefits are shared by a small special-interest group with a strong incentive to perpetuate the policy by further lobbying. The vast majority of voters will be unaware of the effort due to rational ignorance. Therefore, theorists expect that numerous special interests will be able to successfully lobby for various inefficient policies. In public choice theory, such scenarios of inefficient government policies are referred to as government failure — a term akin to market failure from earlier theoretical welfare economics.
"Expressive interests" and democratic irrationality
Geoffrey Brennan and Loren Lomasky claim that democratic policy is biased to favor "expressive interests" and neglect practical and utilitarian considerations. Brennan and Lomasky differentiate between instrumental interests (any kind of practical benefit, both monetary and non-monetary) and expressive interests (forms of expression like applause). According to Brennan and Lomasky, the voting paradox can be resolved by differentiating between expressive and instrumental interests. While voters have virtually no instrumental incentive to vote, they do have an expressive interest in voting. Since voters vote for expressive reasons, politicians win by targeting the median expressive preferences. Bias in favor of expressive interests means that public policy often ignores important practical considerations. For example, there are instrumental costs to restricting international trade. Yet many people favor protectionism as an expression of nationalism, despite its economic costs.
This argument has led some public choice scholars to claim that politics is plagued by irrationality. In articles published in the Econ Journal Watch, economist Bryan Caplan contended that voter choices and government economic decisions are inherently irrational.[3][4]. Caplan‘s ideas are more fully developed in his book The Myth of the Rational Voter (Princeton University Press 2007). In opposition to the arguments put forward by economist Donald Wittman in his The Myth of Democratic Failure, Caplan claims that politics is biased in favor of irrational beliefs.
According to Caplan, democracy effectively subsidizes irrational beliefs. Anyone who derives utility from potentially irrational policies (such as protectionism) can receive private benefits while imposing the costs of such beliefs on the general public. Were people to bear the full costs of their “irrational beliefs”, they would lobby for them optimally, taking into account both their instrumental consequences and their expressive appeal. Instead, democracy oversupplies policies based on irrational beliefs. Caplan defines rationality mainly in terms of mainstream price theory, pointing out that mainstream economists tend to oppose protectionism and government regulation more than the general population, and that more educated people are closer to economists on this score, even after controlling for confounding factors such as income, wealth or political affiliation. One criticism is that many economists do not share Caplan's views on the nature of public choice. However, Caplan does have some data to support his position. Economists have, in fact, often been frustrated by public opposition to economic reasoning. As Sam Peltzman puts it "Economists know what steps would improve the efficiency of HSE [health, safety, and environmental] regulation, and they have not been bashful advocates of them. These steps include substituting markets in property rights, such as emission rights, for command and control. . . . The real problem lies deeper than any lack of reform proposals or failure to press them. It is our inability to understand their lack of political appeal "George Stigler's Contribution to the Economic Analysis of Regulation" 101 J. Pol. Econ. 818, 830 (October 1993).
] Rent seeking
Another major claim is that much of political activity is a form of rent seeking which wastes resources. Gordon Tullock, Jagdish Bhagwati, and Anne Osborn Krueger have argued that rent seeking has caused considerable waste. In a parallel line of research Fred McChesney claims that rent extraction causes considerable waste, especially in the developing world. As the term implies, rent extraction happens when officials use threats to extort payments from private parties.
] Political stance
From such results it is sometimes asserted that public choice theory has an anti-state tilt. But there is ideological diversity among public choice theorists. Mancur Olson for example was an advocate of a strong state and instead opposed political interest group lobbying. More generally, James Buchanan has suggested that public choice theory be interpreted as "politics without romance," a critical approach to a pervasive earlier notion of idealized politics set against market failure. As such it is more a correction of the earlier scientific record, almost requiring a certain pragmatism in comparing alternative politicized institutional structures.[5]
Remedies for the public choice problem
Many proposals have been advanced for reducing what is often seen as excessive or improper influence on public choices by those who invest most to influence them. From game theory we have the insight that a winning strategy in competitive games should have a random component so that the opponent can't anticipate one's moves. This is confirmed by the historical resort to having decisions made by officials selected at random, perhaps with a complex process of intermediate qualifying steps, called sortition. That is what is done in countries using a trial jury selected at random.
Applications and wider recognition
Public choice's application to government regulation was developed by George Stigler (1971) and Sam Peltzman (1976). William Niskanen is generally considered the founder of Public Choice literature on the bureaucracy.
Several notable Public Choice scholars have been awarded the Nobel Prize in Economics, including James M. Buchanan (1986), George Stigler (1982), and Gary Becker (1992). In addition, Vernon Smith (2002) was President of Public Choice Society from 1988 to 1990.
Criticism
In their 1994 book Pathologies of Rational Choice Theory, political scientists Donald P. Green and Ian Shapiro argue that rational choice theory (of which public choice theory is a branch) has contributed less to the field than its popularity suggests.[6] They write:
The discrepancy between the faith that practitioners place in rational choice theory and its failure to deliver empirically warrants closer inspection of rational choice theorizing as a scientific enterprise.[7]
Linda McQuaig writes in All You Can Eat:
The absurdity of public-choice theory is captured by Nobel Prize-winning economist Amartya Sen in the following little scenario: “Can you direct me to the railway station?” asks the stranger. "Certainly," says the local, pointing in the opposite direction, towards the post office, "and would you post this letter for me on your way?" "Certainly," says the stranger, resolving to open it to see if it contains anything worth stealing.
It should be noted that scenarios of this type contain an implicit assumption of zero probability of the two strangers ever interacting again. With a positive probability of future interactions and the propensity of humans to use tit-for-tat type strategies (someone harms or helps you, you return the favor in kind), the optimal totally self-interested decision may be to point to the train station. Furthermore, as David D. Friedman observes, the benefit of cheating the stranger on one occasion may not be worth the mental effort of conceiving a way to do so and weighing the odds of suffering the consequences.
(Sen, in fact, has participated in the development of public choice theory, in such works as Collective Choice and Social Welfare.)
Public Choice theorists have been criticized for failure to explain human actions motivated by non-rational or non-economic considerations. They respond, however, that the theory explains a broad variety of actions since humanitarian or even a madman's actions are also rational. This way, the argument goes, public choice allows to account for a much broader variety of actions than any other approach, and in the example above, Sen's rational actors may or may not act in a way he identified, since public choice approach does not mean the actors necessarily take advantage of one another; it only implies that the actions are 'rational'. Action to direct someone to a train station would thus be just as rational as the action to direct the stranger away for one's own reasons. Furthermore, only 'rationalism' helps to explain human motivation, whereas any other approaches such as humanitarian considerations or the willingness to get extra profit (which is in no way the same as 'rational action') would only explain a part of the developments and fails to present a comprehensive picture. Also, Bryan Caplan argues against rationality in politics, and Brennan and Lomasky account for expressive (non-economic) motives in politics.
Schram and Caterino (2006) contains a fundamental methodological criticism of public choice theory for promoting the view that the natural science model is the only appropriate methodology in social science and that political science should follow this model, with its emphasis on quantification and mathematization. Schram and Caterino argue instead for methodological pluralism.
• y Bryan Caplan
Bab 9 fungsi politik
Fungsi politik
Rasanya bukan sekedar “omongan” pernyataan Presiden Megawati Soekarno Putri, bahwa dialam reformasi ini pihak eksekutif sedang menata diri, tetapi kenyataan objektif menunjukkan bahwa pihak legislatif mengalami eforia (Kompas, 1/12/01). Sekedar wacana, dulu ketika Abdurrahaman Wahid (Gus Dur) masih menjadi Presiden juga sering mengkritik DPR, satu antaranya yang populer ”anggota DPR seperti anak TK”. Tetapi kritik yang dilontar Presiden Megawati tidaklah “segarang” kritik Gus Dur, dan bukan pula suatu “lelucon”, melainkan sangat substantif.
Terlepas bagaimana respon kalangan Dewan sendiri atas kritik Presiden itu, kecenderungan legislatif mengalami eforia sukar dipungkiri. Meskipun hal itu sesuatu yang alamiah, tetapi eforia yang berbasiskan pada “pertarungan” politik dan berorientasi kekuasan tidak cocok dengan mission yang diemban legislatif.. Perdebatan sengit dikalangan DPR tentang perlu-tidaknya pembentukan Pansus Bulog-gate II yang melibatkan Ketua DPR Akbar Tanjung misalnya, terlalu sukar untuk dijelaskan kepada publik, selain untuk kepentingan politik, karena masalahnya sudah ditangani institusi penegak hukum. Di daerah lebih tragis lagi, seorang Ketua DPRD di berhentikan anggota DPRD dalam sidang paripurna, meskipun melanggar tatip yang mereka buat sendiri. Bahkan di Kota Payakumbuh, Dewan bersiteru dengan Walikota-nya hampir selama dua tahun tak kunjung usai.
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Jika diiventarisasi gonjang-ganjing di legislatif pusat dan daerah, akan berupa suatu daftar panjang. Apa artinya semua itu ? Setahun yang lalu Beni K. Harman pernah menyatakan begini; apa yang dilakukan dewan masih jauh dari harapan masyarakat secara umum. Semestinya begitu menjadi anggota DPR, tak peduli dari partai mana pun, mereka menempatkan diri sebagai wakil rakyat. Namun selama ini, DPR kadang kala mengartikulasikan isu yang jauh dari kepentingan publik (Kompas, 21/10/00). Kini keadaannya belum banyak berubah. Komitmen politik lembaga legislatif yang responsif terhadap isu yang menyentuh kepentingan publik masih jauh dari yang diharapkan. Perekonomian negara yang terpuruk menembus pintu pertahanan krisis tidak lebih “nyaring” dan “intens” diperdebatkan legislatif. Kasus Aceh, Papua, Maluku yang tidak kunjung clear, sepertinya tidak begitu menarik dibanding persoalan Bulog gate II. Kalau begitu, harapan apa yang dapat ditumpangkan rakyat kepada legislatif sebagai wakil mereka melepaskan diri himpitan kesulitan eknomi ? Nantilah dulu soal bagaimana menjadikan rakyat makmur.
***
Pembaharuan konstitusi memang telah menempatkan DPR pada posisi legislative heavy dan bahkan sangat mencolak di daerah. Ferfoma legislatif sekarang sangat berbeda -dan memang diharapkan begitu- dari legislatif Zaman Orde Baru. Sayangnya, kedudukan dan fungsi legislatif yang kuat itu tidak dimamfaatkan untuk kepentingan publik dalam arti yang sesungguhnya. Sering-sering hal-hal yang kasuistis diberi label sebagai kepentingan publik. Fungsi politik (kontrol) DPR terkadang berujud “menyerang” eksekutif, dan tidak jarang berakhir dengan “pertikaian internal” dilembaga legislatif sendiri.
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Fungsi kontrol (politik) bukanlah segala-galanya bagi legislatif, meskipun penting dari sisi demokrasi. Tetapi, trend pemanfaatan fungsi politik ini sangat mendominasi lembaga legislatif. Dalam konteks ini, kritik Presiden Megawati menjadi relevan, bahwa lembaga ini mengalami eforia (eforia politik). Bagaimana dengan tugas legislasi DPR ? Kita masih ingat pidato Presiden Megawati pada saat dilantik, salah satu persolan yang ingin dikerjakan Mega adalah reformasi hukum. Tetapi program reformasi hukum yang dicanangkan Presiden itu tidak mendapat respon optimal dari DPR. Satu contoh, tentang pembaharuan KUHP yang sudah tahunan diajukan ke DPR, sampai sekarang tidak jelas nasibnya. Padahal RUU tersebut menyangkut kepentingan 200 juta lebih rakyat Indonesia. Apakah menurut DPR RUU pembaharuan KUHP tidak mendesak ? Ataukah memang penangan kasus-kasus dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, terutama yang melibatkan petinggi negara, akan ditangani sendiri oleh Dewan vide Pansusnya ?
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Meskipun kita terikat dengan mekanisme lima tahunan, dimana rakyat tidak dapat melakukan tindakan politik terhadap wakilnya di DPR (DPRD), namun belum terlambat bagi legislatif untuk menomor satukan tugas legislasinya, karena merupakan tugas pokok. Setidaknya, itulah pesan, atau apa pun namanya yang tersirat dari kritik Presiden Megawati terhadap lembaga legislatif. Dan saya pikir, kritik Presiden itu jauh dari makna menjadikan legislatif “tukang stempel” pemerintah. Di daerah, justeru eksekutif sering dibikin “panik” oleh legislatif. Bila tidak “pandai-pandai” menjaga hubungan baik dengan legislatif, seorang Gubernur/Walikota/Bupati bakal menghadapi “kesulitan”.
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
***
Pemikiran untuk meningkatkan peran legislasi DPR bukanlah tanpa alasan. Tugas legislasi adalah wahana utama untuk merefleksikan kepentingan rakyat (publik). Fungsi kontrol legislatif akan lebih efektif dan bermakna bila terimplementasi dalam pengoptimalan peran legislasi. Penyelenggaraan negara tidak mengarah ke absolutisme atau otoriter akan lebih berkepastian hukum. Peluang itu terbuka lebar dibanding DPR pada zaman Orde Baru. Sebab kita semua paham betul, Dewan saat ini bukan lagi perpanjangan tangan eksekutif (before-hand).
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Tetapi itulah masalahnya, selain mengalami eforia, Dewan masih disibukkan masalah-masalah internal dan konsolidasi kelembagaan. Dalam perspektif perubahan yang tengah berlansung, semestinya DPR telah “memainkan” fungsi dan tugasnya secara efektif dan berdayaguna. Melepaskan diri budaya politik kepentingan atau kelompok. Celakanya, kecenderungan yang dapat diamati, justeru masalah ini yang menjadi hambatan baru bagi perujudan peran legislasi Dewan.
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Meskipun, peran legislasi itu tidak sepenuhnya diukur dari jumlah Undang-Undang yang dibuat, melainkan juga diukur dari kualitas dari produk lelegislatif. Artinya, peran legislasi DPR sesungguhnya berujud dalam bentuk produk legislasi yang dilandasi kearifan, perhitungan tentang masa depan yang memberi arah dan insentif bagi kesejahteraan rakyat.
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Akan tetapi tidak mudah untuk mecapai peran legislasi DPR serupa itu, bila eksistensi kelembagaan legislatif masih penuh dengan sentimen perwakilan-perwakilan kelompok, partai dan kekuasaan. Peran legislasi akan terwujud apabila visi mewakili rakyat sudah melembaga dengan baik, sesuai harapan rakyat. Betapa penting sebenarnya peran legislasi itu, sesuatu yang sangat esensial, , dimana arah dari kehidupan bersama di masa mendatang pada hakikatnya sudah ditentukan lebih dahulu (predetermined). Rambu-rambu pembatasan dari segala usaha kenegaraan itu secara awal sudah ditetapkan dalam wujud legislasi yang berisi regulasi yang terpokok, yang cakupannya jauh ke depan dan diharapkan dapat berumur panjang, tidak cepat lapuk (Rusadi Kantaprawira; 1991).
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Mengentaskan persoalan-persoalan yang mengebiri peran legislasi DPR sama pentingnya dengan upaya mendorong penguatan peran legislasi DPR. Tuntutannya tidak hanya pada isi, melainkan juga pada kedayalakuan. Karenanya sukar dihindarkan, bahwa untuk meningkatkan peran legislasi DPR tidak hanya dengan pembedayaan DPR secara kelembagaan, melainkan sejalan dengan peningkatan sumberdaya manusia. Meskipun memerlukan biaya besar, tetapi hal itu jauh lebih murah dibanding nilai produk legislasi. Pemahan itu bisa diterima, jika kita mampu menangkap dimensi subtantif dari kritik Presiden tempo hari.
[html] Rasanya bukan sekedar “omongan” pernyataan Presiden Megawati Soekarno Putri, bahwa dialam reformasi ini pihak eksekutif sedang menata diri, tetapi kenyataan objektif menunjukkan bahwa pihak legislatif mengala.....
Rasanya bukan sekedar “omongan” pernyataan Presiden Megawati Soekarno Putri, bahwa dialam reformasi ini pihak eksekutif sedang menata diri, tetapi kenyataan objektif menunjukkan bahwa pihak legislatif mengalami eforia (Kompas, 1/12/01). Sekedar wacana, dulu ketika Abdurrahaman Wahid (Gus Dur) masih menjadi Presiden juga sering mengkritik DPR, satu antaranya yang populer ”anggota DPR seperti anak TK”. Tetapi kritik yang dilontar Presiden Megawati tidaklah “segarang” kritik Gus Dur, dan bukan pula suatu “lelucon”, melainkan sangat substantif.
Terlepas bagaimana respon kalangan Dewan sendiri atas kritik Presiden itu, kecenderungan legislatif mengalami eforia sukar dipungkiri. Meskipun hal itu sesuatu yang alamiah, tetapi eforia yang berbasiskan pada “pertarungan” politik dan berorientasi kekuasan tidak cocok dengan mission yang diemban legislatif.. Perdebatan sengit dikalangan DPR tentang perlu-tidaknya pembentukan Pansus Bulog-gate II yang melibatkan Ketua DPR Akbar Tanjung misalnya, terlalu sukar untuk dijelaskan kepada publik, selain untuk kepentingan politik, karena masalahnya sudah ditangani institusi penegak hukum. Di daerah lebih tragis lagi, seorang Ketua DPRD di berhentikan anggota DPRD dalam sidang paripurna, meskipun melanggar tatip yang mereka buat sendiri. Bahkan di Kota Payakumbuh, Dewan bersiteru dengan Walikota-nya hampir selama dua tahun tak kunjung usai.
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Jika diiventarisasi gonjang-ganjing di legislatif pusat dan daerah, akan berupa suatu daftar panjang. Apa artinya semua itu ? Setahun yang lalu Beni K. Harman pernah menyatakan begini; apa yang dilakukan dewan masih jauh dari harapan masyarakat secara umum. Semestinya begitu menjadi anggota DPR, tak peduli dari partai mana pun, mereka menempatkan diri sebagai wakil rakyat. Namun selama ini, DPR kadang kala mengartikulasikan isu yang jauh dari kepentingan publik (Kompas, 21/10/00). Kini keadaannya belum banyak berubah. Komitmen politik lembaga legislatif yang responsif terhadap isu yang menyentuh kepentingan publik masih jauh dari yang diharapkan. Perekonomian negara yang terpuruk menembus pintu pertahanan krisis tidak lebih “nyaring” dan “intens” diperdebatkan legislatif. Kasus Aceh, Papua, Maluku yang tidak kunjung clear, sepertinya tidak begitu menarik dibanding persoalan Bulog gate II. Kalau begitu, harapan apa yang dapat ditumpangkan rakyat kepada legislatif sebagai wakil mereka melepaskan diri himpitan kesulitan eknomi ? Nantilah dulu soal bagaimana menjadikan rakyat makmur.
***
Pembaharuan konstitusi memang telah menempatkan DPR pada posisi legislative heavy dan bahkan sangat mencolak di daerah. Ferfoma legislatif sekarang sangat berbeda -dan memang diharapkan begitu- dari legislatif Zaman Orde Baru. Sayangnya, kedudukan dan fungsi legislatif yang kuat itu tidak dimamfaatkan untuk kepentingan publik dalam arti yang sesungguhnya. Sering-sering hal-hal yang kasuistis diberi label sebagai kepentingan publik. Fungsi politik (kontrol) DPR terkadang berujud “menyerang” eksekutif, dan tidak jarang berakhir dengan “pertikaian internal” dilembaga legislatif sendiri.
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Fungsi kontrol (politik) bukanlah segala-galanya bagi legislatif, meskipun penting dari sisi demokrasi. Tetapi, trend pemanfaatan fungsi politik ini sangat mendominasi lembaga legislatif. Dalam konteks ini, kritik Presiden Megawati menjadi relevan, bahwa lembaga ini mengalami eforia (eforia politik). Bagaimana dengan tugas legislasi DPR ? Kita masih ingat pidato Presiden Megawati pada saat dilantik, salah satu persolan yang ingin dikerjakan Mega adalah reformasi hukum. Tetapi program reformasi hukum yang dicanangkan Presiden itu tidak mendapat respon optimal dari DPR. Satu contoh, tentang pembaharuan KUHP yang sudah tahunan diajukan ke DPR, sampai sekarang tidak jelas nasibnya. Padahal RUU tersebut menyangkut kepentingan 200 juta lebih rakyat Indonesia. Apakah menurut DPR RUU pembaharuan KUHP tidak mendesak ? Ataukah memang penangan kasus-kasus dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, terutama yang melibatkan petinggi negara, akan ditangani sendiri oleh Dewan vide Pansusnya ?
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Meskipun kita terikat dengan mekanisme lima tahunan, dimana rakyat tidak dapat melakukan tindakan politik terhadap wakilnya di DPR (DPRD), namun belum terlambat bagi legislatif untuk menomor satukan tugas legislasinya, karena merupakan tugas pokok. Setidaknya, itulah pesan, atau apa pun namanya yang tersirat dari kritik Presiden Megawati terhadap lembaga legislatif. Dan saya pikir, kritik Presiden itu jauh dari makna menjadikan legislatif “tukang stempel” pemerintah. Di daerah, justeru eksekutif sering dibikin “panik” oleh legislatif. Bila tidak “pandai-pandai” menjaga hubungan baik dengan legislatif, seorang Gubernur/Walikota/Bupati bakal menghadapi “kesulitan”.
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
***
Pemikiran untuk meningkatkan peran legislasi DPR bukanlah tanpa alasan. Tugas legislasi adalah wahana utama untuk merefleksikan kepentingan rakyat (publik). Fungsi kontrol legislatif akan lebih efektif dan bermakna bila terimplementasi dalam pengoptimalan peran legislasi. Penyelenggaraan negara tidak mengarah ke absolutisme atau otoriter akan lebih berkepastian hukum. Peluang itu terbuka lebar dibanding DPR pada zaman Orde Baru. Sebab kita semua paham betul, Dewan saat ini bukan lagi perpanjangan tangan eksekutif (before-hand).
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Tetapi itulah masalahnya, selain mengalami eforia, Dewan masih disibukkan masalah-masalah internal dan konsolidasi kelembagaan. Dalam perspektif perubahan yang tengah berlansung, semestinya DPR telah “memainkan” fungsi dan tugasnya secara efektif dan berdayaguna. Melepaskan diri budaya politik kepentingan atau kelompok. Celakanya, kecenderungan yang dapat diamati, justeru masalah ini yang menjadi hambatan baru bagi perujudan peran legislasi Dewan.
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Meskipun, peran legislasi itu tidak sepenuhnya diukur dari jumlah Undang-Undang yang dibuat, melainkan juga diukur dari kualitas dari produk lelegislatif. Artinya, peran legislasi DPR sesungguhnya berujud dalam bentuk produk legislasi yang dilandasi kearifan, perhitungan tentang masa depan yang memberi arah dan insentif bagi kesejahteraan rakyat.
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Akan tetapi tidak mudah untuk mecapai peran legislasi DPR serupa itu, bila eksistensi kelembagaan legislatif masih penuh dengan sentimen perwakilan-perwakilan kelompok, partai dan kekuasaan. Peran legislasi akan terwujud apabila visi mewakili rakyat sudah melembaga dengan baik, sesuai harapan rakyat. Betapa penting sebenarnya peran legislasi itu, sesuatu yang sangat esensial, , dimana arah dari kehidupan bersama di masa mendatang pada hakikatnya sudah ditentukan lebih dahulu (predetermined). Rambu-rambu pembatasan dari segala usaha kenegaraan itu secara awal sudah ditetapkan dalam wujud legislasi yang berisi regulasi yang terpokok, yang cakupannya jauh ke depan dan diharapkan dapat berumur panjang, tidak cepat lapuk (Rusadi Kantaprawira; 1991).
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Mengentaskan persoalan-persoalan yang mengebiri peran legislasi DPR sama pentingnya dengan upaya mendorong penguatan peran legislasi DPR. Tuntutannya tidak hanya pada isi, melainkan juga pada kedayalakuan. Karenanya sukar dihindarkan, bahwa untuk meningkatkan peran legislasi DPR tidak hanya dengan pembedayaan DPR secara kelembagaan, melainkan sejalan dengan peningkatan sumberdaya manusia. Meskipun memerlukan biaya besar, tetapi hal itu jauh lebih murah dibanding nilai produk legislasi. Pemahan itu bisa diterima, jika kita mampu menangkap dimensi subtantif dari kritik Presiden tempo hari.
[html] Rasanya bukan sekedar “omongan” pernyataan Presiden Megawati Soekarno Putri, bahwa dialam reformasi ini pihak eksekutif sedang menata diri, tetapi kenyataan objektif menunjukkan bahwa pihak legislatif mengala.....
Rasanya bukan sekedar “omongan” pernyataan Presiden Megawati Soekarno Putri, Abahwa dialam reformasi ini pihak eksekutif sedang menata diri, tetapi kenyataan objektif menunjukkan bahwa pihak legislatif mengalami eforia (Kompas, 1/12/01). Sekedar wacana, dulu ketika Abdurrahaman Wahid (Gus Dur) masih menjadi Presiden juga sering mengkritik DPR, satu antaranya yang populer ”anggota DPR seperti anak TK”. Tetapi kritik yang dilontar Presiden Megawati tidaklah “segarang” kritik Gus Dur, dan bukan pula suatu “lelucon”, melainkan sangat substantif.
Terlepas bagaimana respon kalangan Dewan sendiri atas kritik Presiden itu, kecenderungan legislatif mengalami eforia sukar dipungkiri. Meskipun hal itu sesuatu yang alamiah, tetapi eforia yang berbasiskan pada “pertarungan” politik dan berorientasi kekuasan tidak cocok dengan mission yang diemban legislatif.. Perdebatan sengit dikalangan DPR tentang perlu-tidaknya pembentukan Pansus Bulog-gate II yang melibatkan Ketua DPR Akbar Tanjung misalnya, terlalu sukar untuk dijelaskan kepada publik, selain untuk kepentingan politik, karena masalahnya sudah ditangani institusi penegak hukum. Di daerah lebih tragis lagi, seorang Ketua DPRD di berhentikan anggota DPRD dalam sidang paripurna, meskipun melanggar tatip yang mereka buat sendiri. Bahkan di Kota Payakumbuh, Dewan bersiteru dengan Walikota-nya hampir selama dua tahun tak kunjung usai.
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Jika diiventarisasi gonjang-ganjing di legislatif pusat dan daerah, akan berupa suatu daftar panjang. Apa artinya semua itu ? Setahun yang lalu Beni K. Harman pernah menyatakan begini; apa yang dilakukan dewan masih jauh dari harapan masyarakat secara umum. Semestinya begitu menjadi anggota DPR, tak peduli dari partai mana pun, mereka menempatkan diri sebagai wakil rakyat. Namun selama ini, DPR kadang kala mengartikulasikan isu yang jauh dari kepentingan publik (Kompas, 21/10/00). Kini keadaannya belum banyak berubah. Komitmen politik lembaga legislatif yang responsif terhadap isu yang menyentuh kepentingan publik masih jauh dari yang diharapkan. Perekonomian negara yang terpuruk menembus pintu pertahanan krisis tidak lebih “nyaring” dan “intens” diperdebatkan legislatif. Kasus Aceh, Papua, Maluku yang tidak kunjung clear, sepertinya tidak begitu menarik dibanding persoalan Bulog gate II. Kalau begitu, harapan apa yang dapat ditumpangkan rakyat kepada legislatif sebagai wakil mereka melepaskan diri himpitan kesulitan eknomi ? Nantilah dulu soal bagaimana menjadikan rakyat makmur.
***
Pembaharuan konstitusi memang telah menempatkan DPR pada posisi legislative heavy dan bahkan sangat mencolak di daerah. Ferfoma legislatif sekarang sangat berbeda -dan memang diharapkan begitu- dari legislatif Zaman Orde Baru. Sayangnya, kedudukan dan fungsi legislatif yang kuat itu tidak dimamfaatkan untuk kepentingan publik dalam arti yang sesungguhnya. Sering-sering hal-hal yang kasuistis diberi label sebagai kepentingan publik. Fungsi politik (kontrol) DPR terkadang berujud “menyerang” eksekutif, dan tidak jarang berakhir dengan “pertikaian internal” dilembaga legislatif sendiri.
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Fungsi kontrol (politik) bukanlah segala-galanya bagi legislatif, meskipun penting dari sisi demokrasi. Tetapi, trend pemanfaatan fungsi politik ini sangat mendominasi lembaga legislatif. Dalam konteks ini, kritik Presiden Megawati menjadi relevan, bahwa lembaga ini mengalami eforia (eforia politik). Bagaimana dengan tugas legislasi DPR ? Kita masih ingat pidato Presiden Megawati pada saat dilantik, salah satu persolan yang ingin dikerjakan Mega adalah reformasi hukum. Tetapi program reformasi hukum yang dicanangkan Presiden itu tidak mendapat respon optimal dari DPR. Satu contoh, tentang pembaharuan KUHP yang sudah tahunan diajukan ke DPR, sampai sekarang tidak jelas nasibnya. Padahal RUU tersebut menyangkut kepentingan 200 juta lebih rakyat Indonesia. Apakah menurut DPR RUU pembaharuan KUHP tidak mendesak ? Ataukah memang penangan kasus-kasus dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, terutama yang melibatkan petinggi negara, akan ditangani sendiri oleh Dewan vide Pansusnya ?
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Meskipun kita terikat dengan mekanisme lima tahunan, dimana rakyat tidak dapat melakukan tindakan politik terhadap wakilnya di DPR (DPRD), namun belum terlambat bagi legislatif untuk menomor satukan tugas legislasinya, karena merupakan tugas pokok. Setidaknya, itulah pesan, atau apa pun namanya yang tersirat dari kritik Presiden Megawati terhadap lembaga legislatif. Dan saya pikir, kritik Presiden itu jauh dari makna menjadikan legislatif “tukang stempel” pemerintah. Di daerah, justeru eksekutif sering dibikin “panik” oleh legislatif. Bila tidak “pandai-pandai” menjaga hubungan baik dengan legislatif, seorang Gubernur/Walikota/Bupati bakal menghadapi “kesulitan”.
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
***
Pemikiran untuk meningkatkan peran legislasi DPR bukanlah tanpa alasan. Tugas legislasi adalah wahana utama untuk merefleksikan kepentingan rakyat (publik). Fungsi kontrol legislatif akan lebih efektif dan bermakna bila terimplementasi dalam pengoptimalan peran legislasi. Penyelenggaraan negara tidak mengarah ke absolutisme atau otoriter akan lebih berkepastian hukum. Peluang itu terbuka lebar dibanding DPR pada zaman Orde Baru. Sebab kita semua paham betul, Dewan saat ini bukan lagi perpanjangan tangan eksekutif (before-hand).
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Tetapi itulah masalahnya, selain mengalami eforia, Dewan masih disibukkan masalah-masalah internal dan konsolidasi kelembagaan. Dalam perspektif perubahan yang tengah berlansung, semestinya DPR telah “memainkan” fungsi dan tugasnya secara efektif dan berdayaguna. Melepaskan diri budaya politik kepentingan atau kelompok. Celakanya, kecenderungan yang dapat diamati, justeru masalah ini yang menjadi hambatan baru bagi perujudan peran legislasi Dewan.
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Meskipun, peran legislasi itu tidak sepenuhnya diukur dari jumlah Undang-Undang yang dibuat, melainkan juga diukur dari kualitas dari produk lelegislatif. Artinya, peran legislasi DPR sesungguhnya berujud dalam bentuk produk legislasi yang dilandasi kearifan, perhitungan tentang masa depan yang memberi arah dan insentif bagi kesejahteraan rakyat.
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Akan tetapi tidak mudah untuk mecapai peran legislasi DPR serupa itu, bila eksistensi kelembagaan legislatif masih penuh dengan sentimen perwakilan-perwakilan kelompok, partai dan kekuasaan. Peran legislasi akan terwujud apabila visi mewakili rakyat sudah melembaga dengan baik, sesuai harapan rakyat. Betapa penting sebenarnya peran legislasi itu, sesuatu yang sangat esensial, , dimana arah dari kehidupan bersama di masa mendatang pada hakikatnya sudah ditentukan lebih dahulu (predetermined). Rambu-rambu pembatasan dari segala usaha kenegaraan itu secara awal sudah ditetapkan dalam wujud legislasi yang berisi regulasi yang terpokok, yang cakupannya jauh ke depan dan diharapkan dapat berumur panjang, tidak cepat lapuk (Rusadi Kantaprawira; 1991).
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Mengentaskan persoalan-persoalan yang mengebiri peran legislasi DPR sama pentingnya dengan upaya mendorong penguatan peran legislasi DPR. Tuntutannya tidak hanya pada isi, melainkan juga pada kedayalakuan. Karenanya sukar dihindarkan, bahwa untuk meningkatkan peran legislasi DPR tidak hanya dengan pembedayaan DPR secara kelembagaan, melainkan sejalan dengan peningkatan sumberdaya manusia. Meskipun memerlukan biaya besar, tetapi hal itu jauh lebih murah dibanding nilai produk legislasi. Pemahan itu bisa diterima, jika kita mampu menangkap dimensi subtantif dari kritik Presiden tempo hari.
Rasanya bukan sekedar “omongan” pernyataan Presiden Megawati Soekarno Putri, bahwa dialam reformasi ini pihak eksekutif sedang menata diri, tetapi kenyataan objektif menunjukkan bahwa pihak legislatif mengalami eforia (Kompas, 1/12/01). Sekedar wacana, dulu ketika Abdurrahaman Wahid (Gus Dur) masih menjadi Presiden juga sering mengkritik DPR, satu antaranya yang populer ”anggota DPR seperti anak TK”. Tetapi kritik yang dilontar Presiden Megawati tidaklah “segarang” kritik Gus Dur, dan bukan pula suatu “lelucon”, melainkan sangat substantif.
Terlepas bagaimana respon kalangan Dewan sendiri atas kritik Presiden itu, kecenderungan legislatif mengalami eforia sukar dipungkiri. Meskipun hal itu sesuatu yang alamiah, tetapi eforia yang berbasiskan pada “pertarungan” politik dan berorientasi kekuasan tidak cocok dengan mission yang diemban legislatif.. Perdebatan sengit dikalangan DPR tentang perlu-tidaknya pembentukan Pansus Bulog-gate II yang melibatkan Ketua DPR Akbar Tanjung misalnya, terlalu sukar untuk dijelaskan kepada publik, selain untuk kepentingan politik, karena masalahnya sudah ditangani institusi penegak hukum. Di daerah lebih tragis lagi, seorang Ketua DPRD di berhentikan anggota DPRD dalam sidang paripurna, meskipun melanggar tatip yang mereka buat sendiri. Bahkan di Kota Payakumbuh, Dewan bersiteru dengan Walikota-nya hampir selama dua tahun tak kunjung usai.
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Jika diiventarisasi gonjang-ganjing di legislatif pusat dan daerah, akan berupa suatu daftar panjang. Apa artinya semua itu ? Setahun yang lalu Beni K. Harman pernah menyatakan begini; apa yang dilakukan dewan masih jauh dari harapan masyarakat secara umum. Semestinya begitu menjadi anggota DPR, tak peduli dari partai mana pun, mereka menempatkan diri sebagai wakil rakyat. Namun selama ini, DPR kadang kala mengartikulasikan isu yang jauh dari kepentingan publik (Kompas, 21/10/00). Kini keadaannya belum banyak berubah. Komitmen politik lembaga legislatif yang responsif terhadap isu yang menyentuh kepentingan publik masih jauh dari yang diharapkan. Perekonomian negara yang terpuruk menembus pintu pertahanan krisis tidak lebih “nyaring” dan “intens” diperdebatkan legislatif. Kasus Aceh, Papua, Maluku yang tidak kunjung clear, sepertinya tidak begitu menarik dibanding persoalan Bulog gate II. Kalau begitu, harapan apa yang dapat ditumpangkan rakyat kepada legislatif sebagai wakil mereka melepaskan diri himpitan kesulitan eknomi ? Nantilah dulu soal bagaimana menjadikan rakyat makmur.
***
Pembaharuan konstitusi memang telah menempatkan DPR pada posisi legislative heavy dan bahkan sangat mencolak di daerah. Ferfoma legislatif sekarang sangat berbeda -dan memang diharapkan begitu- dari legislatif Zaman Orde Baru. Sayangnya, kedudukan dan fungsi legislatif yang kuat itu tidak dimamfaatkan untuk kepentingan publik dalam arti yang sesungguhnya. Sering-sering hal-hal yang kasuistis diberi label sebagai kepentingan publik. Fungsi politik (kontrol) DPR terkadang berujud “menyerang” eksekutif, dan tidak jarang berakhir dengan “pertikaian internal” dilembaga legislatif sendiri.
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Fungsi kontrol (politik) bukanlah segala-galanya bagi legislatif, meskipun penting dari sisi demokrasi. Tetapi, trend pemanfaatan fungsi politik ini sangat mendominasi lembaga legislatif. Dalam konteks ini, kritik Presiden Megawati menjadi relevan, bahwa lembaga ini mengalami eforia (eforia politik). Bagaimana dengan tugas legislasi DPR ? Kita masih ingat pidato Presiden Megawati pada saat dilantik, salah satu persolan yang ingin dikerjakan Mega adalah reformasi hukum. Tetapi program reformasi hukum yang dicanangkan Presiden itu tidak mendapat respon optimal dari DPR. Satu contoh, tentang pembaharuan KUHP yang sudah tahunan diajukan ke DPR, sampai sekarang tidak jelas nasibnya. Padahal RUU tersebut menyangkut kepentingan 200 juta lebih rakyat Indonesia. Apakah menurut DPR RUU pembaharuan KUHP tidak mendesak ? Ataukah memang penangan kasus-kasus dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, terutama yang melibatkan petinggi negara, akan ditangani sendiri oleh Dewan vide Pansusnya ?
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Meskipun kita terikat dengan mekanisme lima tahunan, dimana rakyat tidak dapat melakukan tindakan politik terhadap wakilnya di DPR (DPRD), namun belum terlambat bagi legislatif untuk menomor satukan tugas legislasinya, karena merupakan tugas pokok. Setidaknya, itulah pesan, atau apa pun namanya yang tersirat dari kritik Presiden Megawati terhadap lembaga legislatif. Dan saya pikir, kritik Presiden itu jauh dari makna menjadikan legislatif “tukang stempel” pemerintah. Di daerah, justeru eksekutif sering dibikin “panik” oleh legislatif. Bila tidak “pandai-pandai” menjaga hubungan baik dengan legislatif, seorang Gubernur/Walikota/Bupati bakal menghadapi “kesulitan”.
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
***
Pemikiran untuk meningkatkan peran legislasi DPR bukanlah tanpa alasan. Tugas legislasi adalah wahana utama untuk merefleksikan kepentingan rakyat (publik). Fungsi kontrol legislatif akan lebih efektif dan bermakna bila terimplementasi dalam pengoptimalan peran legislasi. Penyelenggaraan negara tidak mengarah ke absolutisme atau otoriter akan lebih berkepastian hukum. Peluang itu terbuka lebar dibanding DPR pada zaman Orde Baru. Sebab kita semua paham betul, Dewan saat ini bukan lagi perpanjangan tangan eksekutif (before-hand).
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Tetapi itulah masalahnya, selain mengalami eforia, Dewan masih disibukkan masalah-masalah internal dan konsolidasi kelembagaan. Dalam perspektif perubahan yang tengah berlansung, semestinya DPR telah “memainkan” fungsi dan tugasnya secara efektif dan berdayaguna. Melepaskan diri budaya politik kepentingan atau kelompok. Celakanya, kecenderungan yang dapat diamati, justeru masalah ini yang menjadi hambatan baru bagi perujudan peran legislasi Dewan.
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Meskipun, peran legislasi itu tidak sepenuhnya diukur dari jumlah Undang-Undang yang dibuat, melainkan juga diukur dari kualitas dari produk lelegislatif. Artinya, peran legislasi DPR sesungguhnya berujud dalam bentuk produk legislasi yang dilandasi kearifan, perhitungan tentang masa depan yang memberi arah dan insentif bagi kesejahteraan rakyat.
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Akan tetapi tidak mudah untuk mecapai peran legislasi DPR serupa itu, bila eksistensi kelembagaan legislatif masih penuh dengan sentimen perwakilan-perwakilan kelompok, partai dan kekuasaan. Peran legislasi akan terwujud apabila visi mewakili rakyat sudah melembaga dengan baik, sesuai harapan rakyat. Betapa penting sebenarnya peran legislasi itu, sesuatu yang sangat esensial, , dimana arah dari kehidupan bersama di masa mendatang pada hakikatnya sudah ditentukan lebih dahulu (predetermined). Rambu-rambu pembatasan dari segala usaha kenegaraan itu secara awal sudah ditetapkan dalam wujud legislasi yang berisi regulasi yang terpokok, yang cakupannya jauh ke depan dan diharapkan dapat berumur panjang, tidak cepat lapuk (Rusadi Kantaprawira; 1991).
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Mengentaskan persoalan-persoalan yang mengebiri peran legislasi DPR sama pentingnya dengan upaya mendorong penguatan peran legislasi DPR. Tuntutannya tidak hanya pada isi, melainkan juga pada kedayalakuan. Karenanya sukar dihindarkan, bahwa untuk meningkatkan peran legislasi DPR tidak hanya dengan pembedayaan DPR secara kelembagaan, melainkan sejalan dengan peningkatan sumberdaya manusia. Meskipun memerlukan biaya besar, tetapi hal itu jauh lebih murah dibanding nilai produk legislasi. Pemahan itu bisa diterima, jika kita mampu menangkap dimensi subtantif dari kritik Presiden tempo hari.
[html] Rasanya bukan sekedar “omongan” pernyataan Presiden Megawati Soekarno Putri, bahwa dialam reformasi ini pihak eksekutif sedang menata diri, tetapi kenyataan objektif menunjukkan bahwa pihak legislatif mengala.....
Rasanya bukan sekedar “omongan” pernyataan Presiden Megawati Soekarno Putri, bahwa dialam reformasi ini pihak eksekutif sedang menata diri, tetapi kenyataan objektif menunjukkan bahwa pihak legislatif mengalami eforia (Kompas, 1/12/01). Sekedar wacana, dulu ketika Abdurrahaman Wahid (Gus Dur) masih menjadi Presiden juga sering mengkritik DPR, satu antaranya yang populer ”anggota DPR seperti anak TK”. Tetapi kritik yang dilontar Presiden Megawati tidaklah “segarang” kritik Gus Dur, dan bukan pula suatu “lelucon”, melainkan sangat substantif.
Terlepas bagaimana respon kalangan Dewan sendiri atas kritik Presiden itu, kecenderungan legislatif mengalami eforia sukar dipungkiri. Meskipun hal itu sesuatu yang alamiah, tetapi eforia yang berbasiskan pada “pertarungan” politik dan berorientasi kekuasan tidak cocok dengan mission yang diemban legislatif.. Perdebatan sengit dikalangan DPR tentang perlu-tidaknya pembentukan Pansus Bulog-gate II yang melibatkan Ketua DPR Akbar Tanjung misalnya, terlalu sukar untuk dijelaskan kepada publik, selain untuk kepentingan politik, karena masalahnya sudah ditangani institusi penegak hukum. Di daerah lebih tragis lagi, seorang Ketua DPRD di berhentikan anggota DPRD dalam sidang paripurna, meskipun melanggar tatip yang mereka buat sendiri. Bahkan di Kota Payakumbuh, Dewan bersiteru dengan Walikota-nya hampir selama dua tahun tak kunjung usai.
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Jika diiventarisasi gonjang-ganjing di legislatif pusat dan daerah, akan berupa suatu daftar panjang. Apa artinya semua itu ? Setahun yang lalu Beni K. Harman pernah menyatakan begini; apa yang dilakukan dewan masih jauh dari harapan masyarakat secara umum. Semestinya begitu menjadi anggota DPR, tak peduli dari partai mana pun, mereka menempatkan diri sebagai wakil rakyat. Namun selama ini, DPR kadang kala mengartikulasikan isu yang jauh dari kepentingan publik (Kompas, 21/10/00). Kini keadaannya belum banyak berubah. Komitmen politik lembaga legislatif yang responsif terhadap isu yang menyentuh kepentingan publik masih jauh dari yang diharapkan. Perekonomian negara yang terpuruk menembus pintu pertahanan krisis tidak lebih “nyaring” dan “intens” diperdebatkan legislatif. Kasus Aceh, Papua, Maluku yang tidak kunjung clear, sepertinya tidak begitu menarik dibanding persoalan Bulog gate II. Kalau begitu, harapan apa yang dapat ditumpangkan rakyat kepada legislatif sebagai wakil mereka melepaskan diri himpitan kesulitan eknomi ? Nantilah dulu soal bagaimana menjadikan rakyat makmur.
***
Pembaharuan konstitusi memang telah menempatkan DPR pada posisi legislative heavy dan bahkan sangat mencolak di daerah. Ferfoma legislatif sekarang sangat berbeda -dan memang diharapkan begitu- dari legislatif Zaman Orde Baru. Sayangnya, kedudukan dan fungsi legislatif yang kuat itu tidak dimamfaatkan untuk kepentingan publik dalam arti yang sesungguhnya. Sering-sering hal-hal yang kasuistis diberi label sebagai kepentingan publik. Fungsi politik (kontrol) DPR terkadang berujud “menyerang” eksekutif, dan tidak jarang berakhir dengan “pertikaian internal” dilembaga legislatif sendiri.
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Fungsi kontrol (politik) bukanlah segala-galanya bagi legislatif, meskipun penting dari sisi demokrasi. Tetapi, trend pemanfaatan fungsi politik ini sangat mendominasi lembaga legislatif. Dalam konteks ini, kritik Presiden Megawati menjadi relevan, bahwa lembaga ini mengalami eforia (eforia politik). Bagaimana dengan tugas legislasi DPR ? Kita masih ingat pidato Presiden Megawati pada saat dilantik, salah satu persolan yang ingin dikerjakan Mega adalah reformasi hukum. Tetapi program reformasi hukum yang dicanangkan Presiden itu tidak mendapat respon optimal dari DPR. Satu contoh, tentang pembaharuan KUHP yang sudah tahunan diajukan ke DPR, sampai sekarang tidak jelas nasibnya. Padahal RUU tersebut menyangkut kepentingan 200 juta lebih rakyat Indonesia. Apakah menurut DPR RUU pembaharuan KUHP tidak mendesak ? Ataukah memang penangan kasus-kasus dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, terutama yang melibatkan petinggi negara, akan ditangani sendiri oleh Dewan vide Pansusnya ?
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Meskipun kita terikat dengan mekanisme lima tahunan, dimana rakyat tidak dapat melakukan tindakan politik terhadap wakilnya di DPR (DPRD), namun belum terlambat bagi legislatif untuk menomor satukan tugas legislasinya, karena merupakan tugas pokok. Setidaknya, itulah pesan, atau apa pun namanya yang tersirat dari kritik Presiden Megawati terhadap lembaga legislatif. Dan saya pikir, kritik Presiden itu jauh dari makna menjadikan legislatif “tukang stempel” pemerintah. Di daerah, justeru eksekutif sering dibikin “panik” oleh legislatif. Bila tidak “pandai-pandai” menjaga hubungan baik dengan legislatif, seorang Gubernur/Walikota/Bupati bakal menghadapi “kesulitan”.
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
***
Pemikiran untuk meningkatkan peran legislasi DPR bukanlah tanpa alasan. Tugas legislasi adalah wahana utama untuk merefleksikan kepentingan rakyat (publik). Fungsi kontrol legislatif akan lebih efektif dan bermakna bila terimplementasi dalam pengoptimalan peran legislasi. Penyelenggaraan negara tidak mengarah ke absolutisme atau otoriter akan lebih berkepastian hukum. Peluang itu terbuka lebar dibanding DPR pada zaman Orde Baru. Sebab kita semua paham betul, Dewan saat ini bukan lagi perpanjangan tangan eksekutif (before-hand).
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Tetapi itulah masalahnya, selain mengalami eforia, Dewan masih disibukkan masalah-masalah internal dan konsolidasi kelembagaan. Dalam perspektif perubahan yang tengah berlansung, semestinya DPR telah “memainkan” fungsi dan tugasnya secara efektif dan berdayaguna. Melepaskan diri budaya politik kepentingan atau kelompok. Celakanya, kecenderungan yang dapat diamati, justeru masalah ini yang menjadi hambatan baru bagi perujudan peran legislasi Dewan.
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Meskipun, peran legislasi itu tidak sepenuhnya diukur dari jumlah Undang-Undang yang dibuat, melainkan juga diukur dari kualitas dari produk lelegislatif. Artinya, peran legislasi DPR sesungguhnya berujud dalam bentuk produk legislasi yang dilandasi kearifan, perhitungan tentang masa depan yang memberi arah dan insentif bagi kesejahteraan rakyat.
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Akan tetapi tidak mudah untuk mecapai peran legislasi DPR serupa itu, bila eksistensi kelembagaan legislatif masih penuh dengan sentimen perwakilan-perwakilan kelompok, partai dan kekuasaan. Peran legislasi akan terwujud apabila visi mewakili rakyat sudah melembaga dengan baik, sesuai harapan rakyat. Betapa penting sebenarnya peran legislasi itu, sesuatu yang sangat esensial, , dimana arah dari kehidupan bersama di masa mendatang pada hakikatnya sudah ditentukan lebih dahulu (predetermined). Rambu-rambu pembatasan dari segala usaha kenegaraan itu secara awal sudah ditetapkan dalam wujud legislasi yang berisi regulasi yang terpokok, yang cakupannya jauh ke depan dan diharapkan dapat berumur panjang, tidak cepat lapuk (Rusadi Kantaprawira; 1991).
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Mengentaskan persoalan-persoalan yang mengebiri peran legislasi DPR sama pentingnya dengan upaya mendorong penguatan peran legislasi DPR. Tuntutannya tidak hanya pada isi, melainkan juga pada kedayalakuan. Karenanya sukar dihindarkan, bahwa untuk meningkatkan peran legislasi DPR tidak hanya dengan pembedayaan DPR secara kelembagaan, melainkan sejalan dengan peningkatan sumberdaya manusia. Meskipun memerlukan biaya besar, tetapi hal itu jauh lebih murah dibanding nilai produk legislasi. Pemahan itu bisa diterima, jika kita mampu menangkap dimensi subtantif dari kritik Presiden tempo hari.
[html] Rasanya bukan sekedar “omongan” pernyataan Presiden Megawati Soekarno Putri, bahwa dialam reformasi ini pihak eksekutif sedang menata diri, tetapi kenyataan objektif menunjukkan bahwa pihak legislatif mengala.....
Rasanya bukan sekedar “omongan” pernyataan Presiden Megawati Soekarno Putri, Abahwa dialam reformasi ini pihak eksekutif sedang menata diri, tetapi kenyataan objektif menunjukkan bahwa pihak legislatif mengalami eforia (Kompas, 1/12/01). Sekedar wacana, dulu ketika Abdurrahaman Wahid (Gus Dur) masih menjadi Presiden juga sering mengkritik DPR, satu antaranya yang populer ”anggota DPR seperti anak TK”. Tetapi kritik yang dilontar Presiden Megawati tidaklah “segarang” kritik Gus Dur, dan bukan pula suatu “lelucon”, melainkan sangat substantif.
Terlepas bagaimana respon kalangan Dewan sendiri atas kritik Presiden itu, kecenderungan legislatif mengalami eforia sukar dipungkiri. Meskipun hal itu sesuatu yang alamiah, tetapi eforia yang berbasiskan pada “pertarungan” politik dan berorientasi kekuasan tidak cocok dengan mission yang diemban legislatif.. Perdebatan sengit dikalangan DPR tentang perlu-tidaknya pembentukan Pansus Bulog-gate II yang melibatkan Ketua DPR Akbar Tanjung misalnya, terlalu sukar untuk dijelaskan kepada publik, selain untuk kepentingan politik, karena masalahnya sudah ditangani institusi penegak hukum. Di daerah lebih tragis lagi, seorang Ketua DPRD di berhentikan anggota DPRD dalam sidang paripurna, meskipun melanggar tatip yang mereka buat sendiri. Bahkan di Kota Payakumbuh, Dewan bersiteru dengan Walikota-nya hampir selama dua tahun tak kunjung usai.
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Jika diiventarisasi gonjang-ganjing di legislatif pusat dan daerah, akan berupa suatu daftar panjang. Apa artinya semua itu ? Setahun yang lalu Beni K. Harman pernah menyatakan begini; apa yang dilakukan dewan masih jauh dari harapan masyarakat secara umum. Semestinya begitu menjadi anggota DPR, tak peduli dari partai mana pun, mereka menempatkan diri sebagai wakil rakyat. Namun selama ini, DPR kadang kala mengartikulasikan isu yang jauh dari kepentingan publik (Kompas, 21/10/00). Kini keadaannya belum banyak berubah. Komitmen politik lembaga legislatif yang responsif terhadap isu yang menyentuh kepentingan publik masih jauh dari yang diharapkan. Perekonomian negara yang terpuruk menembus pintu pertahanan krisis tidak lebih “nyaring” dan “intens” diperdebatkan legislatif. Kasus Aceh, Papua, Maluku yang tidak kunjung clear, sepertinya tidak begitu menarik dibanding persoalan Bulog gate II. Kalau begitu, harapan apa yang dapat ditumpangkan rakyat kepada legislatif sebagai wakil mereka melepaskan diri himpitan kesulitan eknomi ? Nantilah dulu soal bagaimana menjadikan rakyat makmur.
***
Pembaharuan konstitusi memang telah menempatkan DPR pada posisi legislative heavy dan bahkan sangat mencolak di daerah. Ferfoma legislatif sekarang sangat berbeda -dan memang diharapkan begitu- dari legislatif Zaman Orde Baru. Sayangnya, kedudukan dan fungsi legislatif yang kuat itu tidak dimamfaatkan untuk kepentingan publik dalam arti yang sesungguhnya. Sering-sering hal-hal yang kasuistis diberi label sebagai kepentingan publik. Fungsi politik (kontrol) DPR terkadang berujud “menyerang” eksekutif, dan tidak jarang berakhir dengan “pertikaian internal” dilembaga legislatif sendiri.
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Fungsi kontrol (politik) bukanlah segala-galanya bagi legislatif, meskipun penting dari sisi demokrasi. Tetapi, trend pemanfaatan fungsi politik ini sangat mendominasi lembaga legislatif. Dalam konteks ini, kritik Presiden Megawati menjadi relevan, bahwa lembaga ini mengalami eforia (eforia politik). Bagaimana dengan tugas legislasi DPR ? Kita masih ingat pidato Presiden Megawati pada saat dilantik, salah satu persolan yang ingin dikerjakan Mega adalah reformasi hukum. Tetapi program reformasi hukum yang dicanangkan Presiden itu tidak mendapat respon optimal dari DPR. Satu contoh, tentang pembaharuan KUHP yang sudah tahunan diajukan ke DPR, sampai sekarang tidak jelas nasibnya. Padahal RUU tersebut menyangkut kepentingan 200 juta lebih rakyat Indonesia. Apakah menurut DPR RUU pembaharuan KUHP tidak mendesak ? Ataukah memang penangan kasus-kasus dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, terutama yang melibatkan petinggi negara, akan ditangani sendiri oleh Dewan vide Pansusnya ?
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Meskipun kita terikat dengan mekanisme lima tahunan, dimana rakyat tidak dapat melakukan tindakan politik terhadap wakilnya di DPR (DPRD), namun belum terlambat bagi legislatif untuk menomor satukan tugas legislasinya, karena merupakan tugas pokok. Setidaknya, itulah pesan, atau apa pun namanya yang tersirat dari kritik Presiden Megawati terhadap lembaga legislatif. Dan saya pikir, kritik Presiden itu jauh dari makna menjadikan legislatif “tukang stempel” pemerintah. Di daerah, justeru eksekutif sering dibikin “panik” oleh legislatif. Bila tidak “pandai-pandai” menjaga hubungan baik dengan legislatif, seorang Gubernur/Walikota/Bupati bakal menghadapi “kesulitan”.
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
***
Pemikiran untuk meningkatkan peran legislasi DPR bukanlah tanpa alasan. Tugas legislasi adalah wahana utama untuk merefleksikan kepentingan rakyat (publik). Fungsi kontrol legislatif akan lebih efektif dan bermakna bila terimplementasi dalam pengoptimalan peran legislasi. Penyelenggaraan negara tidak mengarah ke absolutisme atau otoriter akan lebih berkepastian hukum. Peluang itu terbuka lebar dibanding DPR pada zaman Orde Baru. Sebab kita semua paham betul, Dewan saat ini bukan lagi perpanjangan tangan eksekutif (before-hand).
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Tetapi itulah masalahnya, selain mengalami eforia, Dewan masih disibukkan masalah-masalah internal dan konsolidasi kelembagaan. Dalam perspektif perubahan yang tengah berlansung, semestinya DPR telah “memainkan” fungsi dan tugasnya secara efektif dan berdayaguna. Melepaskan diri budaya politik kepentingan atau kelompok. Celakanya, kecenderungan yang dapat diamati, justeru masalah ini yang menjadi hambatan baru bagi perujudan peran legislasi Dewan.
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Meskipun, peran legislasi itu tidak sepenuhnya diukur dari jumlah Undang-Undang yang dibuat, melainkan juga diukur dari kualitas dari produk lelegislatif. Artinya, peran legislasi DPR sesungguhnya berujud dalam bentuk produk legislasi yang dilandasi kearifan, perhitungan tentang masa depan yang memberi arah dan insentif bagi kesejahteraan rakyat.
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Akan tetapi tidak mudah untuk mecapai peran legislasi DPR serupa itu, bila eksistensi kelembagaan legislatif masih penuh dengan sentimen perwakilan-perwakilan kelompok, partai dan kekuasaan. Peran legislasi akan terwujud apabila visi mewakili rakyat sudah melembaga dengan baik, sesuai harapan rakyat. Betapa penting sebenarnya peran legislasi itu, sesuatu yang sangat esensial, , dimana arah dari kehidupan bersama di masa mendatang pada hakikatnya sudah ditentukan lebih dahulu (predetermined). Rambu-rambu pembatasan dari segala usaha kenegaraan itu secara awal sudah ditetapkan dalam wujud legislasi yang berisi regulasi yang terpokok, yang cakupannya jauh ke depan dan diharapkan dapat berumur panjang, tidak cepat lapuk (Rusadi Kantaprawira; 1991).
Fungsi Politik dan Tugas Legislasi DPR oleh Boy Yendra Tamin
Mengentaskan persoalan-persoalan yang mengebiri peran legislasi DPR sama pentingnya dengan upaya mendorong penguatan peran legislasi DPR. Tuntutannya tidak hanya pada isi, melainkan juga pada kedayalakuan. Karenanya sukar dihindarkan, bahwa untuk meningkatkan peran legislasi DPR tidak hanya dengan pembedayaan DPR secara kelembagaan, melainkan sejalan dengan peningkatan sumberdaya manusia. Meskipun memerlukan biaya besar, tetapi hal itu jauh lebih murah dibanding nilai produk legislasi. Pemahan itu bisa diterima, jika kita mampu menangkap dimensi subtantif dari kritik Presiden tempo hari.
Langganan:
Postingan (Atom)